BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Epistemologi adalah
cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan
epistemologi yang paling pokok ialah tentang sumber-sumber pengetahuan, dan
kriteria kebenaran.
Sumber dan kriteria kebenaran menurut Islam Dalam suatu pembahasannya
Prof. Syed Naquib Al-Atas, mengatakan sumber dan kriteria kebenaran dalam
pandangan Islam terbagi atas dua bagian besar, yakni yang bersifat relative dan
yang bersifat absolut. Yang termasuk sumber pengetahuan relatif adalah indra
dan persepsi. Sumber yang absolut, tiada lain al-Quran dan Sunnah.
Konsekuensi Epistemologi Islam. Kebenaran adalah apa-apa yang dikandung dan
didasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Apa saja yang berasal
dari luar Al-Quran dan As-Sunnah, harus diletakkan dalam kerangka kebenaran
kedua-duanya. Pengetahuan yang berasal dari luar Islam harus dilihat dan
diteropong dari kacamata epistemologi Islam. Pengetahuan harus dibangun di atas
landasan Al-Quran dan Sunnah. Jangan khawatir, bahwa hanya karena al-Quran dan
hadits dibawa-bawa, pengetahuan dan sains menjadi terkekang. Sehebat-hebatnya
hasil pemikiran manusia statusnya dibawah al-Quran, dan menuju kebenaran
sebagaimana yang diinformasikan al-Quran.
Epistemologi Barat. Manusia dan alam semesta merupakan
ayat-ayat pendamping Al-Quran yang saling menguatkan. Penciptaan manusia sama
dengan penciptaan Islam. Penciptaan alam semesta dengan segenap atributnya sama
dengan informasi yang ada dalam Al-Quran. Hal ini tidak diakui oleh Filsafat
Barat yang berinduk kepada filsafat Matrealisme. Menurut mereka, sumber
epistemologi adalah akal (rasionalisme) dan fakta (empirisme) itu pun
didasarkan lagi kepada pragmatisme. Kriteria kebenaran adalah apa-apa yang
dibatasi oleh metode ilmiah. Sebenarnya Metode Ilmiah tidak bermaksud mencapai
suatu pengetahuan yang absolut. Tetapi mereka telah mengabsolutkan metode
ilmiah sebagai satu-satunya jalan menuju pengetahuan yang benar. Dalam
batas-batas tertentu secara pragmatis, metode ilmiah telah membantu manusia
mengembangkan sains dan teknologi. Namun karena dasar filsafat hidup yang
mendasari metode ilmiah itu adalah matrealisme, akibatnya sains dan teknologi
mejadi tunggangan untuk menyebarkan filsafat matrealisme, yang menyebabkan
manusia buta kepada hatinuraninya sendiri. Yang artinya, buta kepada Tuhannya,
dan buta kepada makna hidup yang hakiki.
BAB
II
PEMABAHSAN
A. Pengertian Filsafat
Secara etimologi istilah filsafat adalah berasal
dari bahasa arab yaitu falsafa watafalsafa artinya berfilsafat,
hikmah , berfikir teliti dan ahli dalam masalah-masalah ilmu pengetahuan (alam
semesta), dan berasal dari kata philosophyyang berasal dari bahasa
yunani yaitu philos (suka, cinta) dan Sophia(kebijaksanaan). Pengertian filsafat dari segi praktisnya
berarti alam fikiran atau alam berfikir. Berfilsafatlah artinya berfikir. Akan
tetapi, tidak semua berfikir itu adalah berfilsafat sebab berfilsafat adalah
berfikir secara mendalam dan sungguh-sunguh. Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan
apa itu filsafat diantaranya sebagai berikut:
1. Plato (427-347 SM) seorang
filusuf yunani yang termashur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan
bahwa filsafat itu tidaklah lain dari pada pengetahuan tentang segala yang ada.
2. Aristoteles (384-322 SM)
seorang filusuf terbesar yang merupakan murid Plato mengatakan bahwa filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung
ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika
(filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3. Al-Farabi ( wafat 950 M),
filusuf muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan bahwa filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang
sebenarnya.
Dari
uraian diatas definisi filsafat dapat dikategorikan menjadi 4 definisi tentang
filsafat, yaitu:
1.
Philosophy is an attitude toward life and the universe. (Filsafat adalah satu sikap
tentang hidup dan tentang alam semesta).
2.
Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry. (Filsafat adalah satu metode
pemikiran reflektif dan penyelidikan akliah).
3.
Philosophy is a group of problems. (Filsafat adalah satu
perangkat masalah).
4.
Philosophy is a group of system of thought. (Filsafat adalah satu
perangkat teori atau system pikiran).
B. Sejarah Ilmu
1. Adam Diberi Kelebihan
Dibanding Malaikat dan Jin Oleh Allah dengan Ilmu Allah SWT telah
menyatakan bahwa keunggulan Adam dan keturunannya adalah dikarenakan keilmuan
dariNya, sebagaimana firmanNya:
وَعَلَّمَ
آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu
jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!".-QS.Al-Baqarah:31
Berkata
Ibnu Katsir tentang ayat ini: Yang benar tentang ilmu yang diajarkan Allah
kepada Adam adalah nama-nama segala sesuatu seluruhnya, baik dzatnya, sifatnya,
dan perbuatannya (fungsi), sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Abbas: Sampai
(penamaan) kentut bersuara dan tidak. Maksudnya adalah nama-nama semua dzat dan
perbuatan (fungsi) baik besar maupun kecil, oleh sebab itu Imam Bukhari
meriwayatkan tentang Tafsir ayat ini dalam Shahihnya hadits dari nabi yang
artinya: “Dari Qatadah, dari Anas dari Nabi SAW dia bersabda: “Orang-orang
mu’min berkumpul pada hari kiyamat sambil berkata: Andaikan kita meminta
syafa’at kepada tuhan kita? Kemudian mereka mendatangi Adam dan berkata: Engkau
adalah bapaknya manusia yang diciptakan Allah dengan kekuasaannya, dan bersujud
kepadamu malaikat, memberimu ilmu tentang nama-nama segala sesuatu, maka
mintakanlah untuk kami syafa’at kepada tuhanmu sampai Dia memindahkan kami dari
tempat kami ini…”. -HR.Bukhari-
Dari
ayat dan penerangan ahli tafsir diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa segala
sesuatu tentang ilmu yang dimiliki manusia adalah merupakan pemberian dari Allah,
bahkan hingga memiliki kemampuan mendefinisikan dan menyimpulkan sifat dan
fungsi dari segala sesuatu itu, sehingga dengan kemampuan itulah ilmu
pengetahuan dimulai. Sebab inti dari keilmuan pada dasarnya adalah bagaimana
mendefinisikan dan menempatkan definisi tersebut sesuai sifat dan fungsi
masing-masing. Sehingga jika lahir darinya disiplin ilmu-ilmu maka itu wajar,
sebab semua disiplin ilmu berasal dari bagaimana memberi istilah tentang
sesuatu dan menempatkan fungsinya sehingga ditetapkanlah kaidah dengan segala
teori-teori yang dihasilkan dari pengamatan dan pengalaman tentang sesuatu,
kemudian diberi sentuhan sejarah dan fakta-fakta yang kebetulan sama dengan apa
yang dia definisikan, dan dia tetapkan fungsinya. Oleh sebab itu, dalam ilmu
manthiq, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang belum
diketahui menurut aspek keyakinan atau sangkaan dengan pengetahuan yang sesuai
kenyataannya atau berbeda. Kemudian ilmu dibagai dua:
1. Tashawwuri
Adalah pengetahuan tentang
suatu hakikat-hakikat kata tanpa mendiskusikan terlebih dahulu, untuk
menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan hakikat-hakikat itu, atau
meniadakannya, seperti mengetahui makna lafadz Shalat, zakat, shaum. Dan hal
tersebut adalah jawaban dari kalimat tanya: Apa dia? Apa artinya? Tashawwuri
dibagai dua: Badihi dan Nadzhari.
a)
Badihi
Adalah pengetahuan tentang sesuatu yang tidak membutuhkan kepada
pemikiran dan pandangan, seperti menggambarkan lapar, haus, dingin, panas.
b)
Nadzhari
Adalah apa yang tergantung kepada pembahasan dan penelitian dengan
cermat, seperti menggambarkan hakikat lampu dan radio
2. Tashdiqi
Adalah mengetahui hubungan
yang sempurna antara dua kata. Atau artinya ketetapan atas suatu hakikat dengan
menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan hakikat itu, atau meniadakannya. Hal
itu seperti ilmu kita tentang shalat lima waktu wajib, zinah haram, dll. Maka
jika ada seseorang mengatakan: Riba haram menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lalu
kita bertanya apa riba itu? Apa haram itu? Apa qur’an itu? Dan apa sunnah itu?
Maka jawabannya adalah dengan ilmu tashawwuri. Dan jika kita
mengetahui hukum riba maka itulah yang dinamai dengan tashdiqi.
Tashdiqi dibagi dua:
a)
Badihi
Definisinya seperti pada
tashawwuri. Contohnya adalah seperti menetapkan bahwa satu setengah dari dua.
b)
Nadzhari
Definisinya seperti pada
tashawwuri. Contohnya adalah seperti menetapkan bahwa Alam akan hancur, dan
semua yang mati akan dibangkitkan dari qubur.
2.
Manusia Diberi Ilmu Oleh Allah terbatas
Manusia
adalah makhluq Allah yang dilebihkan dari makhluq lainnya dengan ilmu,
akan tetapi ilmu yang diberikan Allah kepada manusia jauh sekali dari banyak,
dan bahkan sedikit sekali. Artinya, sepintar apapun manusia, maka dihadapan
Allah ilmunya tidak seberapa, sehingga jika kemudian ilmu dan akal didewakan,
hal ini sangat keluar dari fithrah manusia sebagai mahkluq yang menerima ilmu,
bukan mencari ilmu secara hakikat pencarian. Sebab istilah mencari bagi manusia
tidak lebih dari sekedar mendapatkan apa yang telah disediakan oleh Allah,
apalagi jika ilmu tersebut semuanya berkenaan dengan alam ciptaan Allah SWT,
mendefinisikan dan menjelaskan ciptaan Allah, menetapkan hukum dan fungsi
terhadap semua citpaan Allah, maka bagaimana mungkin ilmu manusia dapat melebihi
Nya padahal yang menciptakan tentu lebih tahu terhadap semua yang diciptakan,
lebih-lebih jika manusia pandangannya tidak menyeluruh terhadap alam jagad,
hanya bersifat dugaan dan dugaan, teori dan teori. Hal ini dilakukan sebab
tidak ada yang benar-benar melihat bagaimana manusia tercipta, bagaimana alam
terbentuk, bagaimana makhluq hidup ada. Mereka hanya menduga-duga
berdasarkan atsar yang ada, tanpa melihat langsung proses
kejadiannya. Sedangkan Allah? Maka maha benar Allah tentang firmanNya bahwa
manusia tidak diberikan ilmu olehNya kecuali sedikit saja, sebagaimana
firmanNya:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ
أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا (الإسراء:۸۵)
Artinya
: Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit.".-QS.Al-Isra:85-
Berkata
Ibnu Katsir tentang ayat diatas: Ketika rasulullah hijrah ke Madinah, belia
didtangi oleh para pendeta Yahudi, dan berkata: Wahai Muhammad! Bukankah telah
sampai kepada kami bahwa kamu mengatakan (menyampaikan wahyu) { dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. Apakah yang kamu maksud
itu kamu atau kaumu? Nabiu menjawab: Sekali-kali aku tidak menentukan. Mereka
kem,udian mengatakan: Sesungguhnya kamu membaca bahwa kami diberi taurat,
sedangkan padanya terdapat penjelasan segala sesuatu. Kemudian rasulullah
menjawab: “Ayat itu menurut ilmu Allah
sedikit, sedangkan Allah telah mendatangkan kepada kalian apa yang jika kalian
mengamalkannya kalian akan mendapatkan manfaat”. Dan Allah menurunkan: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi
pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah
(kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.-QS.Luqman:27-.
C. Pengertian Epistemologi Islam
Epistemologi
secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui, apa
itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema
pembahasan epistemology. Menurut Milton D. Hunnex, epistemology berasal dari
bahasa yunani yaitu episteme yang bermakna knowledge,pengetahuan
dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali
digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua
cabang filsafat yaitu ontology dan epistemology. Jika ontology mengkaji tentang
wujud, hakikat, dan metafisika. Maka epistemology membandingkan kajian
sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi
Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi
yaitu pertama apa yang dapat diketahui ( teori dan isi ilmu), dan yang kedua
bagaimana mengetahuinya (metodelogi)
Kajian
epistemology islam sangatlah penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah
menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif yaitu “Kanker Epistemologi”
kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (Critical
Power) serta mengakibatkan kegagalan akal (Intelellectual
failure), yang pada pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan
dan akhirnya ,menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengindap kanker
ini diantaranya suka berkata : Di dunia ini, kita tidak pernah tahu kebenaran
absolute, yang kita tahu hanyalah kebanaran dengan “k” kecil, kebenaran
itu relative, agama itu mutlak sedangkan pemikaran keagamaan relative, semua
agama benar dalam porsi dan porsinya masing-masing dan yang lainnya.
Pertanyaan
yang biasa dipersoalkan di dalam epistemology adalah sebagai berikut : Apakah
pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah
pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau budi pekerti? Apakah
pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakaan dugaan?.
1.
Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan
itu sudah mengemuka dari sejak zaman yunani kuno. Pada zaman ini lahir aliran
yang bernama sofisme. Menurut kaum sofis bahwa semua kebenaran itu relative,
ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Karena
manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda tergantung manusianya.
Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak, demikian kurang lebih
argumentasi kaum sofis. Akibatnya mudah diterka, terjadi semacam kekacauan
kebanaran yaitu semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama
dicurigai, sehingga manusia hidup tanpa pegangan kebenaran dan hal itu telah
menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.
Maka
kemudian muncullah Socrates yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles.
Menurut meraka tidak semua kebenaran relative, ada kebenaran umum yang mutlak
benar bagi siapapun, kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh
aristoteles. Kemudian muncul sofisme klasik yang berreinkarnasi (terlahir
kembali) pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seorang skeptic akan
senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Bagi mereka pendapat
tentang semua perkara (termasuk yang qath’I dalam agama) harus
selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap yang lebih ekstrim dia akan
mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil
ditemukan. Kemudian wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme yaitu
menganggap semua orangdan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama,
aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari
sudut pandang masing-masing. Sehingga jika skeptic menolak semua klaim
kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar.
Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralism agama. Maka ketika
golongan diatas tersebut menyebutkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak,
maka dalam berbagai tempat Allah SWT juga suka mengingatkan bahwa hidup ini
akan selalu ada 2 pilihan seperti haqq dan bathil,Benar (shawab) dan
keliru (Khata’) dan yang lainnya sehingga dalam hal ini
mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
2.
Bagaimana Kita Bisa
Mengetahui?
Ilmu
diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai
alat. Menurut Jujun S Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi
manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah
mendasarkan diri kepada rasio (logis), dan yang kedua mendasarkan diri kepada
pengalaman (empiris). Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode
sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah
pengetahuan sains(scientific knowledge) yang dalam bahasa indonesia
disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Kemudian kerjasama antara
rasionalisme dan empirisme ini melahirkan paham positivisme, yakni paham yang
menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat
terukur seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan
meteran, dan berat diukur dengan timbangan.
Selanjutnya
selain pengetahuan rasionalisme dan empirisme terdapat pengetahuan yang lain
yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatan tanpa
proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada
suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut,
tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai
di situ.
Semantara
wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia.
Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman.
Menurut Jujun Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia
sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga masalah-masalah yang bersifat
transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di
akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepercayaan akan hal-hal yang ghaib
(supranatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para
ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiiring dibatasinya pengetahuan
ilmiah pada logis dan empiris.
Menurut
Ahmad Tafsir, terdapat aliran yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu
iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh – tokoh agama; di
dalam islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia
yang hatinya bersih, maka ia telah bersiap dan sanggup menerima pengetahuan
dari tuhan. Aliran ini lebih fokus pada ilham yang diturunkan
Allah swt kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di
dalam sejarah pemikiran islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak
pada Mulla Shadra.
Pemikiran
al-Nasafi menyatakan bahw terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu
perspesi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqul)serta
intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar
shaqiq). Sedangkan menurut ibnu Taimiyyah terdapat 3 yang pokok dalam
saluran-saluran pengetahuan yaitu khabar, akal dan indera.
Kemudian ibnu Taimiyyah membagi indera kepada indera lahir (panca indera) dan
indera bathin (intuisi hati). Kemudian menurut Al-Ghazali sumber pengetahuan
ada tiga yaitu panca indera, akal dan wahyu (intuisi) akan tetapi menurut
al-Ghazali bahwa intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada Akal untuk
menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya yaitu yang
diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.
Menurt
Ibu Thufail terdapat dua jalan dalam objek pengetahuan yaitu wahyu dan Filsafat
dengan menggunakan akal sebagai pengolahnya dan panca indera yang menangkap
sumber pengetahuan dari pengalaman.
3.
Apa Itu Ilmu
(Pengetahuan)?
Ilmu secara
etimologi bahwa ilmu berasal dari kata ‘alima- ya’lamu-‘ilman yaitu
mengetahui[20] yang kalimat ‘alima merupakan
salah satu sifat dari Allah SWT yaitu al-‘aliimu, al-‘aalimu, ‘allaamu. Dibawah
ini adalah definisi-definisi ilmu menurut para ahli bahasa dan ahli fiqih dan
mantiq :
1. ‘ Ilmu adalah bentuk mufrad sedang bentuk jamaknya adalah ‘uluumunyang
berarti pengetahuan sesuatu tentang sebuah hakikat keyakinan dan pengetahuan.
2. Menurut Ahli Fiqih Ilmu adalah sebuah sifat
yang tersingkap kepada apa yang ia tuntut dengan ketersingkapan yang tuntas.
3. Menurut Ahli Mantiq ilmu adalah pengetahuan
yang belum diketahui dari aspek keyakinan, sangkaan baik itu pengetahuan yang
sesuai dengan kenyataan ataupun tidak.
Jika
dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki
pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan demikian, pengetahuan ialah suatu kata
yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang
sesuatu[25]. Peradaban Barat membedakan pengetahuan
ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge.
Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris,
sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti
konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan
dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan
empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya seperti ilmu agama
tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Islam
tentu saja tidak mengenal pemenggalan zaman menjadi abad klasik, pertengahan
dan modern. Karena islam tidak pernah terjadi tarik-ilur yang dahsyat antara
akal dan iman, atau antara kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Islam juga
tidak mengenal renaissance yang ditandakan dengan terbebasnya
alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa agama. Karena sejak awal
kelahirannya, antara agama, akal, dan indera, ketiganya berjalin kelindan
dengan sangat baik. Konsekuensinya, tidak akan ditemukan dalam khazanah
pemikiran islam pergesaran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia barat.
Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam islam mencakup bidang-bidang
fisik juga nonfisik.
Akan
tetapi berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud,
sekarang ini umat islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan)
secara hadd adalah mustahil.
Menurut
Yadzi tokoh lainnya yang menyatakan ilmu tidak mungkin didefinisikan. Jal itu
disebabkan konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan
swanyata (badihi). Bukan saja tidak membutuhkan definisi,
pengetahuan tidak mungkin didefinisikan, lantaran tidak ada kata atau istilah
lain yang lebih jelas untuk dipakai mendefinisikannya. Frase atau tuturan yang
lazim dipaki dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan
atau ilmu hanyalah memberikan contoh-contoh (mishdaq/instance)pengetahuan
yang ada dalam ilmu atau bidang kajian tertentu, bukan definisi dalam arti
sesungguhnya. Contohnya definisi yang disebutkan oleh para ulama dan ahli
logika seperti “penangkapan bentuk (shurah / form) sesuatu
dalam fikiran”, atau “hadirnya maujud nonmaterial dalam maujud nonmaterial
lainnya” , atau “hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”. Kemudian yadzi pun
menjelaskan bahwa ilmu itu ada dua yaitu al-‘ilmu al-huduri (pengetahuan
dengan kehadiran, presentational knowledge, knowledge by presence). Al-imu
al-hushuli(pengetahuan tangkapan atau perolehan, acquired knowledge).
Dr.
Rajih ‘Abd al-Hamdi al-Kurdi adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa.
Dalam karnya tentang perbandingan epistemology antara Al-Qur’an dan
Filsafat (nazariyyat al-ma’rifah baina al-Qur’an wa al-falsafah) ia
menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir mu’tazilah, filosof yunani, dan
para ulama ahlu sunnah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk
tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan masing-masing pakar
berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik
perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang had.
Uraian
tersebut dapat diindikasikan dengan jelas bahwa dalam islam mencangkup dua
pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa
manusia, dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu
melalui penelitian dan kajian. Sebagaimana firman Allah ;
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ (1) خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (3)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya
: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya”(Q.s al-Alaq:1-5)
Secara
jelas ayat di atas menginformsikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan
aktivitas iqra’, juga vusa diperoleh dengan anugerah Allah swt
langsung kepada manusia.
4.
Klasifikasi Ilmu
Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu
diakui, yang lainnya tidak. Yang logis-empiris dikategorikan
ilmiah, sedangkan yang berdasarkan wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua
jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu,
diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran islam yang dikenal
hanya klasifikasi (pembedaan) atau difrerensiasi (perbedaan), bukan dikotomi
seperti yang berlaku di Barat.
Al-Ghazali misalnya membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan)
padasyar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah adalah yang
berasal dari Nabi saw, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang
dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti
kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa.Kemudian
Ibnu Taimiyyah membagi ilmu kepada dua aspek yaitu Syar’iyyah adalah
yang berurusan dengan agama dan ketuhanan dan ghair syar’iyyah adalah
yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula disyaratkan olehnya.
Sementara menurut Oliver Leaman membagi ilmu menjadi dua pula yaitu alam
syahadah adalah alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam
(nyata) , dan ‘alam al-ghaib adalah alam yang tersembunyi dan
karenanya lebih dari sekedar pengetahuan proposisional. Cara memperoleh
pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan
agar tidak terjadi kekacauan ilmu. Ketika agama diukur oleh akal dan indera
(induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyyah
dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah kesalahan, melainkan
sebiah pembenaran bahwa islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains
dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak
pembajakan dalil-dalil agam. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet
yang jumlahnya tujuh, sperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof muslim di
abad pertengahan. Wallahu ‘alam bishawab
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Allah swt memberikan ilmu hanyalah terbatas. Akan
tetapi keterbatasan ini menjadi luar biasa bagi manusia itu sendiri sehingga
dengan ilmu tersebut lahir banyak sekali ilmu seperti ilmu filsafat khususnya
epistemology yang merupakan salah satu kajian filsafat yang menspesifikasikan
mengenai apa itu ilmu (pengetahuan) dan bagaimana cara kita mendapatkan ilmu.
Sehingga dapat disebutkan bahwa menurut islam ilmu
di tinjau dari dua aspek yaitu alam syahadah (nyata) yang melahirkan teori
sains, dan yang lainnya dan alam ghaib (tidak terlihat) yang merupakan wilayah
agama dan kita wajib mengimaninya.
Yakin pada Al-Quran. Tetapi beriman, dan meyakini kebenaran Al-Quran
tidak kemudian membuat manusia menjadi otomatis mulia. Buktinya hari ini umat
Islam dihinakan dan direndahkan di mana-mana, tanpa ada kekuatan untuk membela
diri. Padahal jumlahnya lebih dari satu miliar. Keberadaannya seperti makanan
yang dihidangkan di atas meja. Mari mencari jawabnya.
DAFTAR
PUSTAKA
A.Zakaria, (t.t), Ilmu Mantiq,Pesantren
PERSIS Garut.
Abdul Hamid Hakim (t,t) Mabaadi awwaliyyah
fi ushulil fiqhi wa qawaaidil fiqhiyyah,Jakarta: Maktabah Sa’adiyyah Putra
Ahmad Warson Munawwir,(1997), Kamus
Al-Munawir Arab-Indonesia, Surabaya :Penerbit Pustaka Progresif
Al-Munjid fi al-lughoh wa al-a’lam, (2005),Beirut:Dar
–al Masrq
Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, (2005),Filsafat Islam,Jakarta
: Gaya Media Pratama, Cet Keempat.
Dian Hardiana, Makalah strategi transformasi
Islam dengan disiplin ilmu
Kamus al-‘Ashri, Atabik ‘Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlhar, Multi Karya Grafika:
Yogyakarta-Indonesia, 2003
Kamus lengkap Bahasa Indonesia Modern, Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar