Jumat, 07 November 2014

makalah filsafat ilmu - epistomologi islam



BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan epistemologi yang paling pokok ialah tentang sumber-sumber pengetahuan, dan kriteria kebenaran.
Sumber dan kriteria kebenaran menurut Islam Dalam suatu pembahasannya Prof. Syed Naquib Al-Atas, mengatakan sumber dan kriteria kebenaran dalam pandangan Islam terbagi atas dua bagian besar, yakni yang bersifat relative dan yang bersifat absolut. Yang termasuk sumber pengetahuan relatif adalah indra dan persepsi. Sumber yang absolut, tiada lain al-Quran dan Sunnah.
Konsekuensi Epistemologi Islam. Kebenaran adalah apa-apa yang dikandung dan didasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Apa saja yang berasal dari luar Al-Quran dan As-Sunnah, harus diletakkan dalam kerangka kebenaran kedua-duanya. Pengetahuan yang berasal dari luar Islam harus dilihat dan diteropong dari kacamata epistemologi Islam. Pengetahuan harus dibangun di atas landasan Al-Quran dan Sunnah. Jangan khawatir, bahwa hanya karena al-Quran dan hadits dibawa-bawa, pengetahuan dan sains menjadi terkekang. Sehebat-hebatnya hasil pemikiran manusia statusnya dibawah al-Quran, dan menuju kebenaran sebagaimana yang diinformasikan al-Quran.
Epistemologi Barat. Manusia dan alam semesta merupakan ayat-ayat pendamping Al-Quran yang saling menguatkan. Penciptaan manusia sama dengan penciptaan Islam. Penciptaan alam semesta dengan segenap atributnya sama dengan informasi yang ada dalam Al-Quran. Hal ini tidak diakui oleh Filsafat Barat yang berinduk kepada filsafat Matrealisme. Menurut mereka, sumber epistemologi adalah akal (rasionalisme) dan fakta (empirisme) itu pun didasarkan lagi kepada pragmatisme. Kriteria kebenaran adalah apa-apa yang dibatasi oleh metode ilmiah. Sebenarnya Metode Ilmiah tidak bermaksud mencapai suatu pengetahuan yang absolut. Tetapi mereka telah mengabsolutkan metode ilmiah sebagai satu-satunya jalan menuju pengetahuan yang benar. Dalam batas-batas tertentu secara pragmatis, metode ilmiah telah membantu manusia mengembangkan sains dan teknologi. Namun karena dasar filsafat hidup yang mendasari metode ilmiah itu adalah matrealisme, akibatnya sains dan teknologi mejadi tunggangan untuk menyebarkan filsafat matrealisme, yang menyebabkan manusia buta kepada hatinuraninya sendiri. Yang artinya, buta kepada Tuhannya, dan buta kepada makna hidup yang hakiki.



BAB II
PEMABAHSAN

A.    Pengertian Filsafat
Secara etimologi istilah filsafat adalah berasal dari bahasa arab yaitu falsafa watafalsafa artinya berfilsafat, hikmah , berfikir teliti dan ahli dalam masalah-masalah ilmu pengetahuan (alam semesta), dan berasal dari kata philosophyyang berasal dari bahasa yunani yaitu philos (suka, cinta) dan Sophia(kebijaksanaan). Pengertian filsafat dari segi praktisnya berarti alam fikiran atau alam berfikir. Berfilsafatlah artinya berfikir. Akan tetapi, tidak semua berfikir itu adalah berfilsafat sebab berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sunguh. Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan apa itu filsafat diantaranya sebagai berikut:
1.      Plato (427-347 SM) seorang filusuf yunani yang termashur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan bahwa filsafat itu tidaklah lain dari pada pengetahuan tentang segala yang ada.
2.      Aristoteles (384-322 SM) seorang filusuf terbesar yang merupakan murid Plato mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3.      Al-Farabi ( wafat 950 M), filusuf muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Dari uraian diatas definisi filsafat dapat dikategorikan menjadi 4 definisi tentang filsafat, yaitu:
1.         Philosophy is an attitude toward life and the universe. (Filsafat adalah satu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta).
2.         Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry. (Filsafat adalah satu metode pemikiran reflektif dan penyelidikan akliah).
3.         Philosophy is a group of problems. (Filsafat adalah satu perangkat masalah).
4.         Philosophy is a group of system of thought. (Filsafat adalah satu perangkat teori atau system pikiran).



B.     Sejarah Ilmu
1.      Adam Diberi Kelebihan Dibanding Malaikat dan Jin Oleh Allah dengan Ilmu Allah SWT telah menyatakan bahwa keunggulan Adam dan keturunannya adalah dikarenakan keilmuan dariNya, sebagaimana firmanNya:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!".-QS.Al-Baqarah:31
Berkata Ibnu Katsir tentang ayat ini: Yang benar tentang ilmu yang diajarkan Allah kepada Adam adalah nama-nama segala sesuatu seluruhnya, baik dzatnya, sifatnya, dan perbuatannya (fungsi), sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Abbas: Sampai (penamaan) kentut bersuara dan tidak. Maksudnya adalah nama-nama semua dzat dan perbuatan (fungsi) baik besar maupun kecil, oleh sebab itu Imam Bukhari meriwayatkan tentang Tafsir ayat ini dalam Shahihnya hadits dari nabi yang artinya: “Dari Qatadah, dari Anas dari Nabi SAW dia bersabda: “Orang-orang mu’min berkumpul pada hari kiyamat sambil berkata: Andaikan kita meminta syafa’at kepada tuhan kita? Kemudian mereka mendatangi Adam dan berkata: Engkau adalah bapaknya manusia yang diciptakan Allah dengan kekuasaannya, dan bersujud kepadamu malaikat, memberimu ilmu tentang nama-nama segala sesuatu, maka mintakanlah untuk kami syafa’at kepada tuhanmu sampai Dia memindahkan kami dari tempat kami ini…”. -HR.Bukhari-
Dari ayat dan penerangan ahli tafsir diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa segala sesuatu tentang ilmu yang dimiliki manusia adalah merupakan pemberian dari Allah, bahkan hingga memiliki kemampuan mendefinisikan dan menyimpulkan sifat dan fungsi dari segala sesuatu itu, sehingga dengan kemampuan itulah ilmu pengetahuan dimulai. Sebab inti dari keilmuan pada dasarnya adalah bagaimana mendefinisikan dan menempatkan definisi tersebut sesuai sifat dan fungsi masing-masing. Sehingga jika lahir darinya disiplin ilmu-ilmu maka itu wajar, sebab semua disiplin ilmu berasal dari bagaimana memberi istilah tentang sesuatu dan menempatkan fungsinya sehingga ditetapkanlah kaidah dengan segala teori-teori yang dihasilkan dari pengamatan dan pengalaman tentang sesuatu, kemudian diberi sentuhan sejarah dan fakta-fakta yang kebetulan sama dengan apa yang dia definisikan, dan dia tetapkan fungsinya. Oleh sebab itu, dalam ilmu manthiq, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang belum diketahui menurut aspek keyakinan atau sangkaan dengan pengetahuan yang sesuai kenyataannya atau berbeda. Kemudian ilmu dibagai dua:
1.      Tashawwuri
Adalah pengetahuan tentang suatu hakikat-hakikat kata tanpa mendiskusikan terlebih dahulu, untuk menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan hakikat-hakikat itu, atau meniadakannya, seperti mengetahui makna lafadz Shalat, zakat, shaum. Dan hal tersebut adalah jawaban dari kalimat tanya: Apa dia? Apa artinya? Tashawwuri dibagai dua: Badihi dan Nadzhari.
a)      Badihi
Adalah pengetahuan tentang sesuatu yang tidak membutuhkan kepada pemikiran dan pandangan, seperti menggambarkan lapar, haus, dingin, panas.
b)      Nadzhari
Adalah apa yang tergantung kepada pembahasan dan penelitian dengan cermat, seperti menggambarkan hakikat lampu dan radio
2.      Tashdiqi
Adalah mengetahui hubungan yang sempurna antara dua kata. Atau artinya ketetapan atas suatu hakikat dengan menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan hakikat itu, atau meniadakannya. Hal itu seperti ilmu kita tentang shalat lima waktu wajib, zinah haram, dll. Maka jika ada seseorang mengatakan: Riba haram menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lalu kita bertanya apa riba itu? Apa haram itu? Apa qur’an itu? Dan apa sunnah itu? Maka jawabannya adalah dengan ilmu tashawwuri. Dan jika kita mengetahui hukum riba maka itulah yang dinamai dengan tashdiqi. Tashdiqi dibagi dua:
a)      Badihi
Definisinya seperti pada tashawwuri. Contohnya adalah seperti menetapkan bahwa satu setengah dari dua.
b)      Nadzhari
Definisinya seperti pada tashawwuri. Contohnya adalah seperti menetapkan bahwa Alam akan hancur, dan semua yang mati akan dibangkitkan dari qubur.


2.         Manusia Diberi Ilmu Oleh Allah terbatas
Manusia adalah makhluq Allah yang dilebihkan dari makhluq lainnya dengan ilmu, akan tetapi ilmu yang diberikan Allah kepada manusia jauh sekali dari banyak, dan bahkan sedikit sekali. Artinya, sepintar apapun manusia, maka dihadapan Allah ilmunya tidak seberapa, sehingga jika kemudian ilmu dan akal didewakan, hal ini sangat keluar dari fithrah manusia sebagai mahkluq yang menerima ilmu, bukan mencari ilmu secara hakikat pencarian. Sebab istilah mencari bagi manusia tidak lebih dari sekedar mendapatkan apa yang telah disediakan oleh Allah, apalagi jika ilmu tersebut semuanya berkenaan dengan alam ciptaan Allah SWT, mendefinisikan dan menjelaskan ciptaan Allah, menetapkan hukum dan fungsi terhadap semua citpaan Allah, maka bagaimana mungkin ilmu manusia dapat melebihi Nya padahal yang menciptakan tentu lebih tahu terhadap semua yang diciptakan, lebih-lebih jika manusia pandangannya tidak menyeluruh terhadap alam jagad, hanya bersifat dugaan dan dugaan, teori dan teori. Hal ini dilakukan sebab tidak ada yang benar-benar melihat bagaimana manusia tercipta, bagaimana alam terbentuk, bagaimana makhluq hidup ada. Mereka hanya menduga-duga berdasarkan atsar yang ada, tanpa melihat langsung proses kejadiannya. Sedangkan Allah? Maka maha benar Allah tentang firmanNya bahwa manusia tidak diberikan ilmu olehNya kecuali sedikit saja, sebagaimana firmanNya:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا (الإسراء:۸۵)

Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.".-QS.Al-Isra:85-

Berkata Ibnu Katsir tentang ayat diatas: Ketika rasulullah hijrah ke Madinah, belia didtangi oleh para pendeta Yahudi, dan berkata: Wahai Muhammad! Bukankah telah sampai kepada kami bahwa kamu mengatakan (menyampaikan wahyu) { dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. Apakah yang kamu maksud itu kamu atau kaumu? Nabiu menjawab: Sekali-kali aku tidak menentukan. Mereka kem,udian mengatakan: Sesungguhnya kamu membaca bahwa kami diberi taurat, sedangkan padanya terdapat penjelasan segala sesuatu. Kemudian rasulullah menjawab: “Ayat itu menurut ilmu Allah sedikit, sedangkan Allah telah mendatangkan kepada kalian apa yang jika kalian mengamalkannya kalian akan mendapatkan manfaat”. Dan Allah menurunkan: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.-QS.Luqman:27-.

C.    Pengertian Epistemologi Islam
Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema pembahasan epistemology. Menurut Milton D. Hunnex, epistemology berasal dari bahasa yunani yaitu episteme yang bermakna knowledge,pengetahuan dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontology dan epistemology. Jika ontology mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika. Maka epistemology membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi yaitu pertama apa yang dapat diketahui ( teori dan isi ilmu), dan yang kedua bagaimana mengetahuinya (metodelogi)
Kajian epistemology islam sangatlah penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif yaitu “Kanker Epistemologi” kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (Critical Power) serta mengakibatkan kegagalan akal (Intelellectual failure), yang pada pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan dan akhirnya ,menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengindap kanker ini diantaranya suka berkata : Di dunia ini, kita tidak pernah tahu kebenaran absolute, yang kita tahu hanyalah kebanaran dengan “k” kecil, kebenaran itu relative, agama itu mutlak sedangkan pemikaran keagamaan relative, semua agama benar dalam porsi dan porsinya masing-masing dan yang lainnya.
Pertanyaan yang biasa dipersoalkan di dalam epistemology adalah sebagai berikut : Apakah pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau budi pekerti? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakaan dugaan?.
  1.         Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari sejak zaman yunani kuno. Pada zaman ini lahir aliran yang bernama sofisme. Menurut kaum sofis bahwa semua kebenaran itu relative, ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Akibatnya mudah diterka, terjadi semacam kekacauan kebanaran yaitu semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai, sehingga manusia hidup tanpa pegangan kebenaran dan hal itu telah menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.
Maka kemudian muncullah Socrates yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles. Menurut meraka tidak semua kebenaran relative, ada kebenaran umum yang mutlak benar bagi siapapun, kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh aristoteles. Kemudian muncul sofisme klasik yang berreinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seorang skeptic akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Bagi mereka pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’I dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap yang lebih ekstrim dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan. Kemudian wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme yaitu menganggap semua orangdan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Sehingga jika skeptic menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralism agama. Maka ketika golongan diatas tersebut menyebutkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, maka dalam berbagai tempat Allah SWT juga suka mengingatkan bahwa hidup ini akan selalu ada 2 pilihan seperti haqq dan bathil,Benar (shawab) dan keliru (Khata’) dan yang lainnya sehingga dalam hal ini mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
2.         Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Jujun S Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio (logis), dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman (empiris). Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains(scientific knowledge) yang dalam bahasa indonesia disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Kemudian kerjasama antara rasionalisme dan empirisme ini melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat terukur seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan berat diukur dengan timbangan.
Selanjutnya selain pengetahuan rasionalisme dan empirisme terdapat pengetahuan yang lain yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatan tanpa proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut, tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ.
Semantara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepercayaan akan hal-hal yang ghaib (supranatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis dan empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh – tokoh agama; di dalam islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya bersih, maka ia telah bersiap dan sanggup menerima pengetahuan dari tuhan. Aliran ini lebih fokus pada ilham yang diturunkan Allah swt kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
Pemikiran al-Nasafi menyatakan bahw terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqul)serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shaqiq). Sedangkan menurut ibnu Taimiyyah terdapat 3 yang pokok dalam saluran-saluran pengetahuan yaitu khabar, akal dan indera. Kemudian ibnu Taimiyyah membagi indera kepada indera lahir (panca indera) dan indera bathin (intuisi hati). Kemudian menurut Al-Ghazali sumber pengetahuan ada tiga yaitu panca indera, akal dan wahyu (intuisi) akan tetapi menurut al-Ghazali bahwa intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada Akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya yaitu yang diberikan kepada para nabi dalam bentuk wahyu.
Menurt Ibu Thufail terdapat dua jalan dalam objek pengetahuan yaitu wahyu dan Filsafat dengan menggunakan akal sebagai pengolahnya dan panca indera yang menangkap sumber pengetahuan dari pengalaman.
3.         Apa Itu Ilmu (Pengetahuan)?
Ilmu secara etimologi bahwa ilmu berasal dari kata ‘alima- ya’lamu-‘ilman yaitu mengetahui[20] yang kalimat ‘alima merupakan salah satu sifat dari Allah SWT yaitu al-‘aliimu, al-‘aalimu, ‘allaamu. Dibawah ini adalah definisi-definisi ilmu menurut para ahli bahasa dan ahli fiqih dan mantiq :
1.  Ilmu adalah bentuk mufrad sedang bentuk jamaknya adalah ‘uluumunyang berarti pengetahuan sesuatu tentang sebuah hakikat keyakinan dan pengetahuan.
2.   Menurut Ahli Fiqih Ilmu adalah sebuah sifat yang tersingkap kepada apa yang ia tuntut dengan ketersingkapan yang tuntas.
3.   Menurut Ahli Mantiq ilmu adalah pengetahuan yang belum diketahui dari aspek keyakinan, sangkaan baik itu pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan ataupun tidak.
Jika dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan demikian, pengetahuan ialah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu[25]. Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya seperti ilmu agama tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Islam tentu saja tidak mengenal pemenggalan zaman menjadi abad klasik, pertengahan dan modern. Karena islam tidak pernah terjadi tarik-ilur yang dahsyat antara akal dan iman, atau antara kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Islam juga tidak mengenal renaissance yang ditandakan dengan terbebasnya alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa agama. Karena sejak awal kelahirannya, antara agama, akal, dan indera, ketiganya berjalin kelindan dengan sangat baik. Konsekuensinya, tidak akan ditemukan dalam khazanah pemikiran islam pergesaran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam islam mencakup bidang-bidang fisik juga nonfisik.
Akan tetapi berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini umat islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd adalah mustahil.
Menurut Yadzi tokoh lainnya yang menyatakan ilmu tidak mungkin didefinisikan. Jal itu disebabkan konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan swanyata (badihi). Bukan saja tidak membutuhkan definisi, pengetahuan tidak mungkin didefinisikan, lantaran tidak ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk dipakai mendefinisikannya. Frase atau tuturan yang lazim dipaki dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan atau ilmu hanyalah memberikan contoh-contoh (mishdaq/instance)pengetahuan yang ada dalam ilmu atau bidang kajian tertentu, bukan definisi dalam arti sesungguhnya. Contohnya definisi yang disebutkan oleh para ulama dan ahli logika seperti “penangkapan bentuk (shurah / form) sesuatu dalam fikiran”, atau “hadirnya maujud nonmaterial dalam maujud nonmaterial lainnya” , atau “hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”. Kemudian yadzi pun menjelaskan bahwa ilmu itu ada dua yaitu al-‘ilmu al-huduri (pengetahuan dengan kehadiran, presentational knowledge, knowledge by presence). Al-imu al-hushuli(pengetahuan tangkapan atau perolehan, acquired knowledge).
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamdi al-Kurdi adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Dalam karnya tentang perbandingan epistemology antara Al-Qur’an dan Filsafat (nazariyyat al-ma’rifah baina al-Qur’an wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir mu’tazilah, filosof yunani, dan para ulama ahlu sunnah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang had.
Uraian tersebut dapat diindikasikan dengan jelas bahwa dalam islam mencangkup dua pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Sebagaimana firman Allah ;

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”(Q.s al-Alaq:1-5)
Secara jelas ayat di atas menginformsikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas iqra’, juga vusa diperoleh dengan anugerah Allah swt langsung kepada manusia.
4.             Klasifikasi Ilmu
Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu, diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau difrerensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al-Ghazali misalnya membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) padasyar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah adalah yang berasal dari Nabi saw, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa.Kemudian Ibnu Taimiyyah membagi ilmu kepada dua aspek yaitu Syar’iyyah adalah yang berurusan dengan agama dan ketuhanan dan ghair syar’iyyah adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula disyaratkan olehnya. Sementara menurut Oliver Leaman membagi ilmu menjadi dua pula yaitu alam syahadah adalah alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam (nyata) , dan ‘alam al-ghaib adalah alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekedar pengetahuan proposisional. Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi kekacauan ilmu. Ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah kesalahan, melainkan sebiah pembenaran bahwa islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agam. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, sperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof muslim di abad pertengahan. Wallahu ‘alam bishawab
























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Allah swt memberikan ilmu hanyalah terbatas. Akan tetapi keterbatasan ini menjadi luar biasa bagi manusia itu sendiri sehingga dengan ilmu tersebut lahir banyak sekali ilmu seperti ilmu filsafat khususnya epistemology yang merupakan salah satu kajian filsafat yang menspesifikasikan mengenai apa itu ilmu (pengetahuan) dan bagaimana cara kita mendapatkan ilmu.
Sehingga dapat disebutkan bahwa menurut islam ilmu di tinjau dari dua aspek yaitu alam syahadah (nyata) yang melahirkan teori sains, dan yang lainnya dan alam ghaib (tidak terlihat) yang merupakan wilayah agama dan kita wajib mengimaninya.
Yakin pada Al-Quran. Tetapi beriman, dan meyakini kebenaran Al-Quran tidak kemudian membuat manusia menjadi otomatis mulia. Buktinya hari ini umat Islam dihinakan dan direndahkan di mana-mana, tanpa ada kekuatan untuk membela diri. Padahal jumlahnya lebih dari satu miliar. Keberadaannya seperti makanan yang dihidangkan di atas meja. Mari mencari jawabnya.

















DAFTAR PUSTAKA

A.Zakaria, (t.t),  Ilmu Mantiq,Pesantren PERSIS Garut.

Abdul Hamid Hakim (t,t) Mabaadi awwaliyyah fi ushulil fiqhi wa qawaaidil fiqhiyyah,Jakarta: Maktabah Sa’adiyyah Putra

Ahmad Warson Munawwir,(1997), Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, Surabaya :Penerbit Pustaka Progresif

Al-Munjid fi al-lughoh wa al-a’lam, (2005),Beirut:Dar –al Masrq

Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, (2005),Filsafat Islam,Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet Keempat.

Dian Hardiana, Makalah strategi transformasi Islam dengan disiplin ilmu

Kamus al-‘Ashri, Atabik ‘Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlhar, Multi Karya Grafika: Yogyakarta-Indonesia, 2003

Kamus lengkap Bahasa Indonesia Modern, Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar