Rabu, 12 November 2014

MAKALAH TASAWUF BERBAGAI PENDAPAT Tentang Munculnya dan Berkembangnya Tasawuf

 BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut dalam bukuMempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
1.      Berasal dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
2.      Berasal dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh kebanyakan orang.
3.      Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
4.      Berasal dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.[1]
Jika diinginkan keterangan selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya adalah sesuatu yang menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi sama denganjumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki ialah orang yang sudah mencapai hikmah Illahi yaitu orang arif dengan Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal melainkan dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya).[2]

B.     Rumusan dan Tujuan
1.      Sejauh mana dan tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?
2.      Asal-usul dan atau Esensi tasawuf ?
3.      Bagaimana awal mula munculnya dan berkembangnya tasawuf  ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Asal Usul Tasawuf
Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi saw, sahabat dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhidābid, dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya.
Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,[3] yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam kesufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkatfana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhāsibi (w.243 H), al-Kharraj (w.277 H.), dan al-Junaid (w.297 H.),[5] dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan. Selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf, dan dzawq.[4]           
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w.110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf-al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w.185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w.200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.[5] Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w.253 H).[6] Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.[7]
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum Ortotoks dengan kelompok sufi berfaham Ittihad[8] dipihak lain.
Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w.277 H) bersama al-Junaid (w.297 H) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis anatra sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’ atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.[9]
Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w.381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi Neo- Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w.578 H) dengan doktrin      al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik.[10]
Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.[11]           

B.     Geneologi Tasawuf.
Asal-usul tasawuf secara etimologis diperdebatkan oleh para ahli, sehingga Abul Hasan al-Fusyandi seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan al-Basri (w. 110 H/ 728 M) mengatakan, “Hari ini , tasawuf hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada buktinya. Dahulu, di zaman Rasulullah, tasawuf ada buktinya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tanpa bukti.”[12]
Sejarah sesungguhnya telah mencatat bahwa tasawuf sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi Rasul Allah. Cuma perlu diketahui di sini bahwa adanya tasawuf pada zaman nabi bukan merupakan suatu istilah populer seperti sekarang ini, apalagi sebagai kajian ilmu yang berdiri sendiri. Tasawuf pada zaman nabi adalah tasawuf yang bersifat amali, yang secara langsung dipraktekkan dan dicontohkan oleh nabi sendiri. Tindakan-tindakan amaliyah seperti sering menyendiri pergi ke Gua Hiro’ (uzlah) atau sifat-sifat nabi seperti qona’ah (menerima pemberian Allah dengan lapang dada), zuhud (tidak begitu tergiur apalagi sampai ambisi terhadap persoalan-persoalan dunia), dan masih banyak sifat-sifat terpuji yang lain adalah merupakan sifat-sifat yang dalam kaitan ilmu tasawuf ternyata dijadikan sebagai dasar-dasar pijakan hukum.[13]

C.     Esensi Tasawuf
Ajaran tasawuf mengandung esensi etika yang berlandaskan pada pembangunan moral manusia. Berbicara pembangunan moralitas, sebagaimana diketahui bersama bahwa dewasa ini peradaban dunia tengah mengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena menunjukkan kekerasan dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga terjadi distorsi moral yang menyebabkan kehancuran dan kerugian manusia itusendiri.Pada konteks ini, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral.
Sebab pertama, tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua, kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan. Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti ajaran tasawuf mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya.
Sebab, menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Permasalahan moralitas dalam tasawuf dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif materi dalam proses dakwah, karena memiliki tiga tujuan:  pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris Islam terhadap manusia modern. Ketiga, untuk memberikan penegasan bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yaitu tasawuf adalah jantung ajaran Islam. Dengan mengaplikasikan ajaran tasawuf, umat manusia dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat tercapai dengan maksimal tanpa harus meninggalkan atau mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain. Tetapi dapat dicapai secara selaras dan seimbang dengan mengaplikasikan dan membumikan ajaran tasawuf dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Imam Ghazali dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur'an al Karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri Muraqabah dan Muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas. Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari Islam.

D.     Muncul dan Berkembangnya Tasawuf
Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq.
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H).

E.     Tujuan Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah.[14] Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
1.      Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
2.      Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode ­al-Kasyf al-HijabTasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis.
3.      Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu dalam Iradat Tuhan.[15]
Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini; (2) penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan (3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.

F.      Berbagai Pendapat Tentang Muncul Dan Perkembangan Tasawuf.
Sebagai fenomena historik, tasawuf memang muncul sebagai reaksi terhadap kebobrokan moral yang menjangkiti penguasa Dinasti Umayyah. Karena itu nilai-nilai kesufian yang mula-mula berkembang adalah asketisme atau kezuhudan. Mungkin saja sikap asketik atau zuhud itu adalah manifestasi dari puncak kritik terhadap lingkungan sekitar yang bobrok. Bahkan, bisa juga dianggap sebagai perlawanan spiritual dari para pemuka agama yang tidak ingin terlibat dalam struktur dan sistem yang berlaku. Akan tetapi, tak terhindarkan, lama-kelamaan hidup kesufian menjelma seakan-akan sebagai pelarian untuk mengejar keselamatan pribadi.[16]
Prof. Dr. Hamka berpendapat bahwa tasawuf timbul dari mulai tumbuh sejak awal-awal tumbuhnya agama Islam itu sendiri, sekaligus telah diamalkan dan dicontohkan oleh pembawanya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sejalan dengan pendapat tersebut, Syekh Thaha Abdul Baqi Surur dalam kitabnya “Syakhsuaat Shufiat” mengatakan, bahwa kehidupan Rasulullah sebelum menjadi nabi, terutama sekali setelah beliau diangkat sebagai nabi dan rasul telah dijadikan tauladan utama bagi sekalian kaum sufi dan tidak melenceng dari ajaran Islam.
Dengan demikian sudah barang tentu jika seseorang ingin mengetahui secara jelas akar-akar sejarah tasawuf, maka jalan pertama yang harus ditempuh adalah harus bersumber dan berdasar pada sumber pertamanya, yaitu peri kehidupan Nabi Muhammad.[17]
Berkat rintisan madrasah yang dipelopori oleh Hasan Al Basri yang di dalamnya mengajarkan ilmu Tasawuf secara mendalam, kemudian disusul dengan berdirinya madrasah Sa’id bin Musayyab di Irak dan diteruskan oleh Ibrahim bin Adham di Khurasan Persia, maka ilmu Tasawuf semakin hari semakin berkembang luas di tengah-tengah masyarakat Islam.
Kemajuan gerakan shufi ini cepat sekali meluasnya. Dalam masa lima puluh tahun saja semua gerakan bathin di Irak, kecuali gerakan mistik Malamatiyah di Khurasan, telah memakai perkataan shufi itu, dan dua abad kemudian istilah shufi ini sudah mempunyai pengertian yang tertentu dari semua gerakan mistik Islam, sebagai pengertian kata shufisme yang biasa dipakai hingga zaman kita sekarang ini.
Kemudian dengan timbulnya ilmu Tasawuf secara lengkap dalam segenap bagian-bagiannya, hancurlah Filsafat Kebendaan di Timur, dihancurkan oleh gerakan tasawuf yang sangat kuat, matilah gerakan ilhad (atheis-anti agama) dan lain-lain faham keduniaan yang biasanya menenggelamkan umat Islam di dalam kedurjanaan dan kekafiran.
Menurut sejarah, perkembangan agama Islam ke Afrika, ke segenap pelosok Asia yang luas ini, Asia Kecil, Asia Timor, Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang berada di tepi Lautan Hindia, semuanya dibawa oleh propaganda-propaganda Islam dari kaum tasawuf. Sifat-sifat dan cara hidup mereka yang sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya teori adanya.
Maka pada perkembangan selanjutnya, tercatatlah dalam sejarah pertumbuhan tasawuf, para penggerak kerohanian pada masa setelah zaman sahabat sampai abad V Hijriyah antara lain, yaitu: Husein bin Manshur Al Hallaj, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali dan lain-lain.
Selanjutnya pada abad VI dan VII Hijriyah, perkembangan  fikiran dari filsafat seperti Ibnu Araby, Jalaludin Ar Rumi dan lain-lain sangat dirasa pesat pengaruhnya dikalangan ilmu pengetahuan Islam, maka tumbuh pula thariqoh-thoriqoh suluk laksana pesantren kita di Indonesia sekarang ini. Di dalamnya terdapat tempat tertentu dan duduklah para murid menghadap gurunya atau syekh (Mursyid). Selain dari mempelajari syari’at agama , maka dipentingkan juga mempelajari zikir dan wirid tertentu di dalam menuju jalan mengenal diri Allah.[18]
ThariqoH-thoriqoh yang terkenal pada abad ini banyak sekali, bahkan jumlahnya menurut Jumhurul Ulama’ hingga mencapai empat puluh satu macam. Dari sekian banyaknya thoriqoh, maka thoriqoh yang palin banyak pengaruhnya di Indonesia, terutama di daerah Sumatra, Jawa dan Madura adalah thoriqoh Qodiriyah dan Naqsabandiyah. Thoriqoh Qodiriyah adalah thoriqoh yang di dirikan oleh syekh Abdul Qorir Ibnu Abi Shalih Janki Dausat Al Jaelani. Beliau lahir pada tahun 471 H (1077 M) dan wafat pada bulan Rabiuts Tsani 561 H (1164 M) di Bagdad. Thoriqoh ini dalam perjalanannya berjalan seiring dengan Thariqoh Naqsabandiyah, yaitu thoriqoh yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Muhammad Bahaudin Bukhori An Naqsabandy, dan akhirnya berubah nama secara bergabung menjadi Thoriqoh Qodiriyah dan Naqsabandiyah yang sejak bulan Januari 1978 berpusat di Tebuireng Jombang Jawa Timur.[19]
Berbagai macam aliran tasawuf berkembang dan tumbuh dengan subur dalam dunia Islam. Tapi bagi paham Ahlusunnah wal jamaah (maksudnya adalah NU), mengikuti tasawuf yang benar adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Abul Qasim Junaidi Al Bagdadi, yaitu seorang sufi termashur dan dialah yang mula-mula menyebarkan ilmu tasawuf. Ia lahir di Nahawan dan wafat di Irak sekitar tahun 279 H- bertepatan dengan tahun 910 M.

-o 0 o-
























BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1.      Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar akhir abab dua Hijriah yang dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak datangnya agama Islam. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. Cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah saw.. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman  mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm: 12-13; surah al-Takwir:
2.      Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikantasawuf, ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa ternyata dijumpai pula pada pendefenisian tasawuf . kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esesnsi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan.
3.      Sementara tujuan akhir tasawuf itu sendiri adalah etika murni atau psikologi murni yang mencakup :
1.      Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.
2.      Penanggalan secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek.
3.      Pemusatan pada perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.
  
-o 0 o-










DAFTAR  PUSTAKA

Fadeli, H. Soeleiman dan Mohammad Subhan. Antologi NU. Surabaya: Khalista, 2007.

Miftakhuddin. Ilmu Tasawuf Kelas XI SI MA Darul Huda, Ponorogo: MA Darul Huda, 2008.

_______, Ibnu Athaillah. Al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).

Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990).

H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I); Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Nicholson, The Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966), h. 4. nama lengkapnya adalah Reynold Alleyne Nicholson seorang orientalis Barat yang ahli dalam sejarah dan mistikisme dalam Islam.

Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam (Bandung: Pustaka, 1984).

Ittihad yaitu beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana). Lihat Fazlur Rahaman.

Rahmat Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000.

Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M, Surabaya: Terbit Terang, 2001.

Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judulTarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), h. 6.

Rahmat Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000.

Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M, Surabaya: Terbit Terang, 2001.

Ust. Labib Mz, Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003.

-o 0 o-


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I ...... PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang........................................................................................ 1
B.       Rumasan dan Tujauan............................................................................. 1
BAB II ..... PEMBAHASAN
A.    Asal Usul Tasawuf................................................................................... 2 
B.     Geneologi Tasawuf.................................................................................. 5
C.     Esensi Tasawuf......................................................................................... 6
D.    Muncul dan Berkembangnya Tasawuf..................................................... 7
E.     Tujuan Tasawuf........................................................................................ 8
F.      Berbagai Pendapat Tentang Muncul dan Perkembangan Tasawuf.......... 9
BAB III ... PENUTUP
.................. KESIMPULAN............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 13












[1]     Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), h. 5.
[2]     op. cit., h. 12.
[3]     H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 36.
[4]     Ibid., h. 37.
[5]     Nicholson, The Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966), h. 4. nama lengkapnya adalah Reynold Alleyne Nicholson seorang orientalis Barat yang ahli dalam sejarah dan mistikisme dalam Islam.
[6]     Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. 185.
[7]     H. A. Rivay Siregar, op. cit., h.  39.
[8]     Ittihad yaitu beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana). Lihat Fazlur Rahaman, op. cit., h. 186.
[9]     Ibid., h. 187.
[10]    ibid., h. 187.
[11]    H.A. Rivay Siregar, op. cit., h. 43.
[12]  Rahmat Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 191.
[13]  Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M, Surabaya: Terbit Terang, 2001, hlm. 1-2.
[14]    Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judulTarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), h. 6.
[15]    H. A. Rivay Siregar, op. cit., h. 5
[16]    Rahmat Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, hlm. 197.
[17]    Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M, Surabaya: Terbit Terang, 2001, hlm. 3-4.
[18]    Ust. Labib Mz, Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003, hlm. 21-24.
[19]    Ust. Labib Mz, Jalan Menuju Ma’rifat, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003, hlm. 25-26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar