BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana
tersebut dalam bukuMempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah).
Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi
al-Hānif :
1. Berasal dari kata suffah (صفة)=
segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di serambi masjid
Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah
untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang
belum menerima fatwa itu.
2. Berasal dari kata sūfatun (صوفة)=
bulu binatang, sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak
senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh
kebanyakan orang.
3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
4.
Berasal dari
kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang
mengamalkan tasawuf itu,
selalu suci bersih lahir dan bathin dan
selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan
kemurkaan Allah.[1]
Jika diinginkan keterangan selanjutnya, maka haruslah
kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya adalah sesuatu yang
menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi sama
denganjumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki ialah
orang yang sudah mencapai hikmah Illahi yaitu orang arif dengan Allah, karena
pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal melainkan dengan-Nya (dengan
pertolongan-Nya).[2]
B.
Rumusan dan Tujuan
1.
Sejauh mana dan tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?
2.
Asal-usul dan atau Esensi tasawuf ?
3.
Bagaimana awal mula munculnya dan berkembangnya tasawuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal Usul Tasawuf
Dari beberapa
keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam
kehidupan Nabi saw, sahabat dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama
sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik,
namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam
sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan)
atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah.
Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk
beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan
duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal
pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya.
Fase ini dapat
disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama
perkembangan tasawuf,[3] yang
ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada
dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan
konkrit dari asketisme Islam kesufisme. Fase ini dapat
disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan
sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada
kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada
persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode
pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari
perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang
yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta
ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat
tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai
berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat
metodenya sampai pada tingkatfana’ dan ijtihad.
Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti
al-Muhāsibi (w.243 H), al-Kharraj (w.277 H.), dan al-Junaid (w.297 H.),[5] dan penulis
lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam
khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya
berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan. Selama kurun
waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih
spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf, dan dzawq.[4]
Kepesatan
perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman,
nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga
faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe
gerakan yang muncul.
Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup
kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para
hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari
sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di
istana. Profes tersamar ini mereka
lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi
etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan
al-Bahsri (w.110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual
Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf-al-raja’,
rabi’ah al-Adawiyah (w.185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta
Ma’ruf al-Kharki (w.200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai
ajarannya.[5] Nampaknya
setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian
yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan,
eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan
alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada
radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang
ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang
ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa
mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus
menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap
yang demikian itu melahirkan ajaran‘uzlah yang dipelopori oleh
Surri al-Saqathi (w.253 H).[6] Apabila
diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan
sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil
sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis
tehadap penguasa.
Dalam pandangan ini,
kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian,
atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di
dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka
bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan,
dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam
dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang
menyebabkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau
semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering
dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya
komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya.
Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi
agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian
terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an
kepada tasawuf.[7]
Apabila dilihat dari
sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga
yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf.
Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum Ortotoks dengan kelompok sufi
berfaham Ittihad[8] dipihak
lain.
Akibat lanjut dari
pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil
al-Karraj (w.277 H) bersama al-Junaid (w.297 H) menawarkan konsep-konsep
tasawuf yang kompromistis anatra sufisme dan orthodoksi.
Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk
mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang
paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’ atau
subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil
keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan
sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran
mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu
mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi
ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf
li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.[9]
Sesudah masanya
ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang
berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan
filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w.381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati,
sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi Neo-
Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh
Suhrawardi al-Maqtūl (w.578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi.
Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima
Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis
semua ajaran tasawuf yang
menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil
rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat terhormat
dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk
menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal
dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima.
Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui
pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki,
tetapi kesatuan simbolistik.[10]
Pendekatan yang
dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk
mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang
berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain
memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki
pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh
kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah
sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan
timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.[11]
B.
Geneologi Tasawuf.
Asal-usul tasawuf secara etimologis diperdebatkan oleh para ahli, sehingga
Abul Hasan al-Fusyandi seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasan al-Basri
(w. 110 H/ 728 M) mengatakan, “Hari ini , tasawuf hanyalah sekedar
nama, tetapi tidak ada buktinya. Dahulu, di zaman Rasulullah, tasawuf ada
buktinya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama,
tetapi tanpa bukti.”[12]
Sejarah sesungguhnya telah mencatat bahwa tasawuf sebenarnya sudah ada
sejak zaman Nabi Muhammad, bahkan sebelum beliau diangkat menjadi Rasul Allah.
Cuma perlu diketahui di sini bahwa adanya tasawuf pada zaman nabi bukan
merupakan suatu istilah populer seperti sekarang ini, apalagi sebagai kajian
ilmu yang berdiri sendiri. Tasawuf pada zaman nabi adalah tasawuf yang bersifat
amali, yang secara langsung dipraktekkan dan dicontohkan oleh nabi sendiri.
Tindakan-tindakan amaliyah seperti sering menyendiri pergi ke Gua Hiro’ (uzlah)
atau sifat-sifat nabi seperti qona’ah (menerima pemberian Allah dengan lapang
dada), zuhud (tidak begitu tergiur apalagi sampai ambisi terhadap
persoalan-persoalan dunia), dan masih banyak sifat-sifat terpuji yang lain
adalah merupakan sifat-sifat yang dalam kaitan ilmu tasawuf ternyata dijadikan
sebagai dasar-dasar pijakan hukum.[13]
C.
Esensi Tasawuf
Ajaran tasawuf
mengandung esensi etika yang berlandaskan pada pembangunan moral manusia.
Berbicara pembangunan moralitas, sebagaimana diketahui bersama bahwa dewasa ini
peradaban dunia tengah mengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena
menunjukkan kekerasan dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga
terjadi distorsi moral yang menyebabkan kehancuran dan kerugian manusia
itusendiri.Pada konteks ini, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi
krisisspiritual yang berimbas pada distorsi moral.
Sebab pertama,
tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual
dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai
realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Kedua,
kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat
kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan dengan Allah di jalin
atasdasar kecintaan. Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti ajaran
tasawuf mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan
kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya.
Sebab, menelantarkan
kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki
oleh Allah SWT. Permasalahan moralitas dalam tasawuf dapat dijadikan sebagai
salah satu alternatif materi dalam proses dakwah, karena memiliki tiga
tujuan: pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan
dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau
pemahaman tentang aspek esoteris Islam terhadap manusia modern. Ketiga, untuk memberikan penegasan bahwa
sesungguhnya aspek esoteris Islam, yaitu tasawuf adalah jantung ajaran Islam.
Dengan mengaplikasikan ajaran tasawuf, umat manusia dapat mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat tercapai dengan maksimal tanpa harus
meninggalkan atau mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain. Tetapi dapat
dicapai secara selaras dan seimbang dengan mengaplikasikan dan membumikan
ajaran tasawuf dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.
Tasawuf merupakan
salah satu aspek (esoteris) Islam,
sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan
dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah
ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman
adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti
fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang
dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan
sahabat nabi.
Munculnya istilah
tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyimal-Kufi
(w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum
timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud
timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Imam Ghazali
dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia
tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi tidak ada satupun manusia yang
bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dalam
pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena,
tasawuf konsentrasi pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh
al-Qur'an al Karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri Muraqabah dan Muhasabah. Kedua, selalu
berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta
damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas. Melihat konsenstrasi
bahasan tasawuf di atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari Islam.
D.
Muncul dan Berkembangnya
Tasawuf
Kenapa gerakan
tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi'in? Kenapa tidak muncul pada
masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku
umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan
Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya
pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah
perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan.
Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah
mengagungkan kehidupan dunia, tapi
juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq.
Ketika kekuasaan
Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah
orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum.
Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang
bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut
pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki
as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H).
E.
Tujuan Tasawuf
Secara umum, tujuan
terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan
Allah.[14] Akan
tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum,
terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
1.
Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral.
Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan
dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya
kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini,
pada umumnya bersifat praktis.
2.
Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui
penyingkapan langsung atau metode al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis
ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang
diformulasikan secara sistimatis analitis.
3.
Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem
pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian
garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan
Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan
itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan
kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga
terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah
penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara
manusia yang telah menyatu dalam Iradat Tuhan.[15]
Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini,
terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir
dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau
keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak
mutlak Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini;
(2) penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari
sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial) yang
diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’
al-ta’ah; dan (3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan
diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali
Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.
F. Berbagai Pendapat Tentang Muncul Dan
Perkembangan Tasawuf.
Sebagai fenomena historik, tasawuf memang muncul sebagai reaksi terhadap
kebobrokan moral yang menjangkiti penguasa Dinasti Umayyah. Karena itu
nilai-nilai kesufian yang mula-mula berkembang adalah asketisme atau kezuhudan.
Mungkin saja sikap asketik atau zuhud itu adalah manifestasi dari puncak kritik
terhadap lingkungan sekitar yang bobrok. Bahkan, bisa juga dianggap sebagai
perlawanan spiritual dari para pemuka agama yang tidak ingin terlibat dalam
struktur dan sistem yang berlaku. Akan tetapi, tak terhindarkan, lama-kelamaan
hidup kesufian menjelma seakan-akan sebagai pelarian untuk mengejar keselamatan
pribadi.[16]
Prof. Dr. Hamka berpendapat bahwa tasawuf timbul dari mulai tumbuh sejak
awal-awal tumbuhnya agama Islam itu sendiri, sekaligus telah diamalkan dan
dicontohkan oleh pembawanya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Syekh Thaha Abdul Baqi Surur dalam kitabnya “Syakhsuaat
Shufiat” mengatakan, bahwa kehidupan Rasulullah sebelum menjadi nabi,
terutama sekali setelah beliau diangkat sebagai nabi dan rasul telah dijadikan
tauladan utama bagi sekalian kaum sufi dan tidak melenceng dari ajaran Islam.
Dengan demikian sudah barang tentu jika seseorang ingin mengetahui secara
jelas akar-akar sejarah tasawuf, maka jalan pertama yang harus ditempuh adalah
harus bersumber dan berdasar pada sumber pertamanya, yaitu peri kehidupan Nabi
Muhammad.[17]
Berkat rintisan madrasah yang dipelopori oleh Hasan Al Basri yang di
dalamnya mengajarkan ilmu Tasawuf secara mendalam, kemudian disusul dengan
berdirinya madrasah Sa’id bin Musayyab di Irak dan diteruskan oleh Ibrahim bin
Adham di Khurasan Persia, maka ilmu Tasawuf semakin hari semakin berkembang
luas di tengah-tengah masyarakat Islam.
Kemajuan gerakan shufi ini cepat sekali meluasnya. Dalam masa lima puluh
tahun saja semua gerakan bathin di Irak, kecuali gerakan mistik Malamatiyah di
Khurasan, telah memakai perkataan shufi itu, dan dua abad kemudian istilah
shufi ini sudah mempunyai pengertian yang tertentu dari semua gerakan mistik
Islam, sebagai pengertian kata shufisme yang biasa dipakai hingga zaman kita
sekarang ini.
Kemudian dengan timbulnya ilmu Tasawuf secara lengkap dalam segenap
bagian-bagiannya, hancurlah Filsafat Kebendaan di Timur, dihancurkan oleh
gerakan tasawuf yang sangat kuat, matilah gerakan ilhad (atheis-anti agama) dan
lain-lain faham keduniaan yang biasanya menenggelamkan umat Islam di dalam
kedurjanaan dan kekafiran.
Menurut sejarah, perkembangan agama Islam ke Afrika, ke segenap pelosok
Asia yang luas ini, Asia Kecil, Asia Timor, Asia Tengah, sampai ke
negara-negara yang berada di tepi Lautan Hindia, semuanya dibawa oleh
propaganda-propaganda Islam dari kaum tasawuf. Sifat-sifat dan cara hidup
mereka yang sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan
kata-kata yang hanya teori adanya.
Maka pada perkembangan selanjutnya, tercatatlah dalam sejarah pertumbuhan
tasawuf, para penggerak kerohanian pada masa setelah zaman sahabat sampai abad
V Hijriyah antara lain, yaitu: Husein bin Manshur Al Hallaj, Imam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al Ghozali dan lain-lain.
Selanjutnya pada abad VI dan VII Hijriyah, perkembangan fikiran dari
filsafat seperti Ibnu Araby, Jalaludin Ar Rumi dan lain-lain sangat dirasa
pesat pengaruhnya dikalangan ilmu pengetahuan Islam, maka tumbuh pula
thariqoh-thoriqoh suluk laksana pesantren kita di Indonesia sekarang ini. Di
dalamnya terdapat tempat tertentu dan duduklah para murid menghadap gurunya
atau syekh (Mursyid). Selain dari mempelajari syari’at agama , maka
dipentingkan juga mempelajari zikir dan wirid tertentu di dalam menuju jalan
mengenal diri Allah.[18]
ThariqoH-thoriqoh yang terkenal pada abad ini banyak sekali, bahkan
jumlahnya menurut Jumhurul Ulama’ hingga mencapai empat puluh satu macam. Dari
sekian banyaknya thoriqoh, maka thoriqoh yang palin banyak pengaruhnya di
Indonesia, terutama di daerah Sumatra, Jawa dan Madura adalah thoriqoh
Qodiriyah dan Naqsabandiyah. Thoriqoh Qodiriyah adalah thoriqoh yang di dirikan
oleh syekh Abdul Qorir Ibnu Abi Shalih Janki Dausat Al Jaelani. Beliau lahir
pada tahun 471 H (1077 M) dan wafat pada bulan Rabiuts Tsani 561 H (1164 M) di
Bagdad. Thoriqoh ini dalam perjalanannya berjalan seiring dengan Thariqoh
Naqsabandiyah, yaitu thoriqoh yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Muhammad
Bahaudin Bukhori An Naqsabandy, dan akhirnya berubah nama secara bergabung
menjadi Thoriqoh Qodiriyah dan Naqsabandiyah yang sejak bulan Januari 1978
berpusat di Tebuireng Jombang Jawa Timur.[19]
Berbagai macam aliran tasawuf berkembang dan tumbuh dengan subur dalam
dunia Islam. Tapi bagi paham Ahlusunnah wal jamaah (maksudnya adalah NU),
mengikuti tasawuf yang benar adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Abul Qasim
Junaidi Al Bagdadi, yaitu seorang sufi termashur dan dialah yang mula-mula
menyebarkan ilmu tasawuf. Ia lahir di Nahawan dan wafat di Irak sekitar tahun
279 H- bertepatan dengan tahun 910 M.
-o 0 o-
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Kata tasawuf mulai dipercakapkan
sebagai satu istilah sekitar akhir abab dua Hijriah yang dikatkan dengan salah
satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar.
Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak datangnya agama
Islam. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad saw. Cara hidup
beliau yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat. Selama
periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah saw.. adalah berdasarkan atas
pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan
dalam Aquran surah al-Najm: 12-13; surah al-Takwir:
2.
Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai
upaya awal untuk mendefenisikantasawuf, ternyata sulit untuk menarik
satu kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa ternyata dijumpai pula pada
pendefenisian tasawuf . kesulitan itu nampaknya berpangkal
pada esesnsi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir
tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan.
3.
Sementara tujuan akhir tasawuf itu
sendiri adalah etika murni atau psikologi murni yang mencakup :
1. Penyerahan diri
sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.
2. Penanggalan secara
total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek.
3. Pemusatan pada
perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.
-o 0 o-
DAFTAR PUSTAKA
Fadeli, H. Soeleiman dan Mohammad Subhan. Antologi NU.
Surabaya: Khalista, 2007.
Miftakhuddin. Ilmu Tasawuf Kelas XI SI MA Darul Huda, Ponorogo:
MA Darul Huda, 2008.
_______, Ibnu Athaillah. Al-Hikam. Diterjemahkan
oleh Salim Bahreisy dengan judul Tarjamah al-Hikmah. Cet. V;
Surabaya: Balai Buku, 1984).
Ibnu
Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin
Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t:
Bintang Pelajar, 1990).
H.A. Rivay
Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I);
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Nicholson, The
Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966), h. 4. nama lengkapnya adalah Reynold Alleyne
Nicholson seorang orientalis Barat yang ahli dalam sejarah dan mistikisme dalam
Islam.
Fazlur
Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam (Bandung:
Pustaka, 1984).
Ittihad yaitu beralihnya sifat kemanusiaan
seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga terjadi pernyataan dengan
Tuhan (fana). Lihat Fazlur Rahaman.
Rahmat
Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya,
2000.
Ust. Asrifin
S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M, Surabaya:
Terbit Terang, 2001.
Ibnu
Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim
Bahreisy dengan judulTarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai
Buku, 1984), h. 6.
Rahmat
Taufik Hidayat, dkk, Almanak Alam Islami, Jakarta: Pustaka Jaya,
2000.
Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah
Dengan Tahapan 7 M, Surabaya: Terbit Terang, 2001.
Ust. Labib Mz, Jalan Menuju Ma’rifat,
Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2003.
-o 0 o-
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR....................................................................................................
i
DAFTAR
ISI...................................................................................................................
ii
BAB
I ...... PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang........................................................................................
1
B. Rumasan
dan Tujauan.............................................................................
1
BAB
II ..... PEMBAHASAN
A. Asal Usul Tasawuf...................................................................................
2
B. Geneologi Tasawuf..................................................................................
5
C.
Esensi Tasawuf.........................................................................................
6
D. Muncul dan Berkembangnya Tasawuf.....................................................
7
E. Tujuan Tasawuf........................................................................................
8
F.
Berbagai Pendapat Tentang Muncul dan Perkembangan
Tasawuf.......... 9
BAB
III ... PENUTUP
.................. KESIMPULAN.............................................................................................
12
DAFTAR
PUSTAKA.....................................................................................................
13
[1] Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn
Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam
Mata Hati (t.t: Bintang Pelajar, 1990), h. 5.
[3] H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999), h. 36.
[5] Nicholson, The Mystic of Islam (London:
Keqan paul Ltd., 1966), h. 4. nama
lengkapnya adalah Reynold Alleyne Nicholson seorang orientalis Barat yang ahli
dalam sejarah dan mistikisme dalam Islam.
[6] Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh
Ahsin dengan judul Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. 185.
[8] Ittihad yaitu
beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an
sehingga terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana). Lihat Fazlur
Rahaman, op. cit., h. 186.
[13]
Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M,
Surabaya: Terbit Terang, 2001, hlm. 1-2.
[14] Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan
oleh Salim Bahreisy dengan judulTarjamah al-Hikmah (Cet. V;
Surabaya: Balai Buku, 1984), h. 6.
[17] Ust. Asrifin S. Ag. Jalan Menuju Ma’rifatullah
Dengan Tahapan 7 M, Surabaya: Terbit Terang, 2001, hlm. 3-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar