Selasa, 28 Oktober 2014

Makalah Struktur Pengetahuan Ilmiah (Siklus Logicohipotetico-Verifikatif) dan Teori Disiplin Ilmu

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Secara naluriah, manusia memiliki rasa ingin tahu yang besar, yang sulit untuk terpuaskan. Ketidakpuasan ini antara lain karena seperti yang dikemukakan Maslow manusia memiliki kebutuhan yang secara hierarkhis meningkat sejalan dengan tercapainya kebutuhan yang lebih rendah, dengan kata lain apabila tingkat kebutuhan tertentu tercapai maka dia akan berkeinginan untuk meraih kebutuhan lain yang lebih tinggi. Kemajuan yang pesat di berbagai bidang kehidupan manusia dewasa ini juga merupakan salah satu faktor yang berimbas pada peningkatan kualitas kebutuhan manusia. Hal ini pun baik langsung maupun tidak langsung akan berakibat pada peningkatan kualitas rasa ingin tahu yang meraksuki manusia. 
Untuk memuaskan rasa ingin tahunya maka manusia melakukan upaya-upaya, baik itu melalui upaya yang secara sadar dilakukannya maupun upaya-upaya yang kadang tidak disadarinya. Upaya-upaya yang dilakukan tanpa kesadaran sepenuhnya (artinya tanpa rancangan atau langkah yang jelas) yang kemudian dikenal dengan upaya-upaya non ilmiah itu antara lain melalui praduga, trial and error, intuisi, wahyu, otoritas, mencari ilham, dll., sedangkan upaya yang secara sadar dilakukan dengan mengandalkan proses berpikir yang beralur tertentu (nalar) dengan langkah yang tertentu yakni dilakukan melalui penelitian ilmiah (metode ilmiah) ini dikenal dengan upaya ilmiah.
Upaya-upaya itu akan membuahkan pengetahuan, dan jenis upaya yang dilakukan akan menentukan atau akan menandai apakah pengetahuan itu akan tergolong pengetahuan ilmiah (science) atau pengetahuan non ilmiah (knowledge). Dalam upaya untuk memenuhi rasa ingin tahu itu banyak jalan yang dapat ditempuh oleh manusia (ways of knowing). Dan masing-masing jalan untuk pemenuhan rasa ingin tahu itu telah mewarnai sejarah panjang kehidupan manusia. Upaya itu antara lain meliputi: penggunaan mitos, prasangka, intuisi, otoritas ahli, trial and error, common sense, pengamatan indrawi, pengalaman pribadi dan upaya lainnya. Upaya-upaya ini sejauh ini kurang begitu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, antara lain karena hasil dari upaya-upaya tersebut tidak dapat ditelusuri ulang (unreliable) dan besarnya kelemahan-kelemahan dan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki manusia. Bukankah ahli pun bisa salah? Bukankah indera kita terbatas daya inderanya ? Bukankah pengalaman pribadi sangat subjektif ? Bukankah intuisi bisa saja hanya sekedar ilusi ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Struktur Ilmu
“Ilmu” berasal dari bahasa ‘Arab “alima” sama dengan kata dalam bahasa Inggris “Science” yang berasal dari bahasa Latin “Scio” atau “Scire” yang kemudian di Indonesiakan menjadi Sains. Thomson dalam Sidi Gazalba menggambarkan “Ilmu adalah pelukisan fakta-fakta pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin, pelukisan secara lengkap dan konsisten itu melalui tahap pembentukan definisi, melakukan analisa, melakukan pengklassifikasian dan melakukan pengujian”(Sidi Gazalba, Jakarta 1973. h. 54-55).
Jujun S. Suriasumantri menggambarkannya dengan sangat sederhana namun penuh makna “Ilmu adalah seluruh pengetahuan yang kita miliki dari sejak bangku SD hingga Perguruan Tinggi”(Jujun S Suriasumantri,1990, h. 19). Beerling, Kwee, Mooij dan Van Peursen menggambarkannya lebih luas “Ilmu timbul berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi, singkatnya, berdasarkan atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus bahan-bahan pengalaman yang dapat dikumpulkan.”(Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Yogyakarta, 1990, h. 14-15). Sehingga dengan demikian, ilmu adalah kumpulan pengetahuan secara holistik yang tersusun secara sistematis yang teruji secara rasional dan terbukti empiris.
Struktur ilmu dalam filsafat ilmu merupakan bagian yang penting dipelajari mengingat ilmu merupakan suatu bangunan yang tersusun bersistem dan kompleks. Melalui ilmu kita dapat menjelaskan, meramal dan mengontrol setiap gejala-gejala alam yang terjadi. Tujuan akhir dari disiplin keilmuan yaitu mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten Makin tinggi tingkat keumuman suatu konsep maka makin teoritis konsep tersebut. Makin teoritis suatu konsep maka makin jauh penyataan yang dikandungnya. Ilmu-ilmu murni berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan. Ilmu-ilmu terapan ini akan melahirkan teknologi atau peralatan-peralatan yang berfungsi sebagai sarana yang memberi kemudahan dalam kehidupan.
Dengan mengetahui struktur dari ilmu ini maka dapat kita bedakan nantinya pemahaman dari sejauh mana kajian mengenai gejala-gejala alam. Bekal ini pula yang nantinya kita pergunakan dalam penelitian-penelitian yang akan kita lakukan. Tampaknya akal budi manusia tidak mungkin berhenti berpikir, hasrat mengetahui ilmuan tidak dapat padam, dan keinginan berbuat seseorang tidak bisa dihapuskan. Ini berarti perkembangbiakan pengetahuan ilmiah akan berjalan terus dan pembagian ilmu yang sistematis perlu dari waktu ke waktu diperbaharui.
B.     Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diproses dengan metode ilmiah dan memenuhi syarat-syarat keilmuan (Jujun, 2005). Sedangkan menurut Peursen, pengetahuan ilmiah ialah pengetahuan yang terorganisasi dengan sistem dan metode berusaha mencari hubungan-hubungan tetap diantara gejala-gejala (Bakker,1990). Piaget juga mendefenisikan pengetahuan ilmiah sebagai hasil penyesuaian terhadap kenyataan, yang menggambarkan latar belakang hayati maupun kejiwaan dari ilmu (Peursen, 2003). Dari berbagai defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan hasil penyesuaian terhadap kenyataan yang diperoleh dengan metode ilmiah dan memenuhi syarat-syarat keilmuan. Oleh karena itu, pengetahuan ilmiah sering diistilahkan dengan ilmu.
Dalam kaitannya dengan pengetahuan dan metode ilmiah, Gie (1997) menyatakan bahwa ilmu adalah kesatuan antara pengetahuan, aktivitas, dan metode. Ketiga hal tersebut merupakan kesatuan logis yang harus ada secara berurutan. Ilmi harus diusahakan dengan aktivitas, aktivitas harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dan interaksi di antara aktivitas, metode, dan pengetahuan menyusun suatu ilmu. Hubungan ketiganya dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut: Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Sesuatu yang ilmiah itu mempunyai sifat tidak absolut. Kebenaran ilmiahnya terbatas hingga sesuatu yang ilmiah dapat disangkal atau disanggah dan diperbaiki.
Ginzburg berpendapat bahwa ilmu dalam pengertiannya sebagai pengetahuan merupakan suatu sistem pengetahuan sebagai dasar teoritis untuk tindakan praktis. Sedangkan Nagel menyatakan ilmu adalah suatu sistem penjelasan mengenai saling hubungan diantara peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, ilmu sebagai sekumpulan pengetahuan sistematik terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan atau dikoordinasikan agar dapat menjadi dasar teoritis atau memberi penjelasan yang termaksud. Saling keterkaitan diantara segenap komponen itu merupakan struktur dari pengetahuan ilmiah (Gie, 1997).
Struktur pengetahuan ilmiah mencakup :
1.   Objek sebenarnya sebenarnya:
a.       Objek material : Ide abstrak,  Benda fisik, Jasad hidup, Gejala rohani, Peristiwa sosial, Proses tanda
b.      Objek formal: Pusat perhatian dalam penelaahan ilmuwan terhadap fenomena itu
2.    Bentuk pernyataan
a.       Deskripsi : Bersifat deskriptif dengan memberikan pemerian mengenai bentuk, susunan dll
b.      Preskripsi : Memberikan petunjuk atau ketentuan apa yang sebaiknya berlangsung
c.       Eksposisi Pola: Merangkum pernyataanpernyataan yang memaparkan pola-pola
d.      Rekonstruksi historis : Menceritakan dengan penjelasan atau alasan yang diperlukan dalam pertumbuhan sesuatu pada masa lampau
3.    Ragam proposisi : Bentuk pernyataan yang lain, terutama ditemukan pada cabang ilmu yang lebih dewasa
4.    Ciri pokok: Ilmu sama , tidak tergantung siapa yangmenemukan/mengungkapkan; Ilmu bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika; Ilmu dapat diuji kebenarannya; Kebenarannya tidak bersifat individual; Ilmu dapat digunakan oleh semua orang.
5.    Pembagian sistematis: Sejarah dan Filsafat Ilmu,  ilmu Fisis, ilmu bumi, ilmu biologis, ilmu kedokteran dan disiplin-disiplin yang tergabung,  Ilmu-ilmu sosial dan psikologi, ilmu teknologis

C.    Metode Ilmiah

Penalaran, seperti yang oleh Rom Harre (1989:58) dikatakan sebagai: “typically a passage of thougt from some given or assumed statements to other” atau Yuyun S.S. (1985:42) menyatakannya sebagai proses berpikir menurut alur kerangka berpikir tertentu, merupakan kunci pembuka gerbang ke arah kemajuan seperti apa yang dicapai oleh manusia sekarang ini. Penalaran sebagai sebuah kemampuan berpikir, memiliki dua ciri pokok, yakni logis dan analitis. Logis artinya bahwa proses berpikir ini dilandasi oleh logika tertentu, sedangkan analitis mengandung arti bahwa proses berpikir ini dilakukan dengan langkah-langkah teratur seperti yang dipersyaratkan oleh logika yang dipergunakannya. Pernyataan ini akan lebih jelas apabila anda membaca uraian berikut ini.

 

Macam-macam Penalaran

1.      Penalaran Deduktif.

Penalaran deduktif atau juga dikenal sebagai berpikir rasional yang dibidani oleh filosof Yunani Aristoteles merupakan penalaran yang beralur dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum menuju pada penyimpulan yang bersifat khusus. Sang Bagawan Aristoteles (Van Dalen:6) menyatakan bahwa penalaran deduktif adalah: ”A discourse in wich certain things being posited, something else than what is posited necessarily follows from them”. pola penalarannya seringkali kita kenali dengan pola silogisme. Sebagai contoh misalnya kita amati pernyataan-pernyataan berikut ini.

-          Semua manusia akan mati.

-          Peserta latihan penelitian ini adalah manusia.

-          Peserta penelitian ini akan mati.

Pernyataan I kita kenal sebagai premis mayor, pernyataan II adalah premis minor dan pernyataan III adalah kesimpulan. Kesimpulan yang ditarik akan bernilai benar jika kedua pernyataan di atasnya benar, demikian pula sebaliknya.  Banyak sekali kegiatan manusia yang menggunakan penalaran deduktif, sebagai contoh misalnya dokter dalam mendiagnosis penyakit pasiennya, detektif yang menyelidiki masalah kriminal, atau egiatan lainnya, tapi yang harus dicamkan adalah bahwa penggunaan yang banyak bukan jaminan bahwa penelaran deduktif ini dapat dipergunakan tanpa kelemahan-kelemahan. Antara lain misalnya jika salah satu atau kedua premisnya salah maka kesimpulan yang ditarik berdasarkan premis-premis itu akan salah. Kelemahan lainnya adalah bahwa kesimpulan yang ditarik berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis-premisnya, sehingga sulit diharapkan kemajuan ilmupenegetahuan jika hanya mengandalkan logika ini. Selain itu manakala argumen deduktif akan diuji kebenarannya, maka yang mungkin teruji hanya bentuk atau pola penalarannya tapi bukan materi dari premis-premisnya, jadi salah benar premisnya tak dapat diuji. 

2.      Penalaran Induktif

Penalaran induktif adalah penalaran yang memberlakukan atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum (Smart,1972:64). Penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau empiri. Dengan kata lain penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.(Suriasumantri, 1985:46). Inilah alasan eratnya kaitan antara logika induktif dengan istilah generalisasi. 

Penalaran ini dirintis oleh Prancis Bacon yang tidak puas dengan penalaran deduktif, dan tidak habis pikir mengapa misalnya masalah jumlah gigi kuda saja harus berdebat habis-habisan dengan menggunakan logika deduktif, bukankah pemecahannya sangat mudah? buka saja mulut-mulut kuda lalu dihitung jumlah giginya. (Best,1982: 15)

Bacon merasa bahwa jika kita terus berpijak pada penalaran deduktif semata maka dia akan berputar dari itu ke itu juga sulit untuk maju, namun kitapun harus sadar bahwa induktifnya Bacon bukan tanpa cela, antara lain karena keterbatasan dan ketidaksempurnaan indera; selain itu jika observasi inderawi dilakukan secara acak tanpa berpijak pada kesatuan konsep atau fokus maka kita seolah berjalan dalan kegelapan; pengalaman inderawi merupakan sesuatu yang bersifat tidak pasti sebab suatu fakta tidak memberikan makna untuk dirinya danb tidak menunjukkan hubungan antar mereka tanpa masuknya subjektivitas pengamatnya, jadi apakah fakta semata akan selalu mendasari pengetahuan yang konsisten dan pasti kepada kita ? 

3.      Penalaran Ilmiah.

Baik penalaran deduktif maupun penalaran induktif keduanya memiliki kebaikan dan kelemahan masing-masing, namun dengan segala kelebihan dan kelemahannya keduanya telah mewarnai babak-babak awal sejarah perkembangan ilmu pengetahuan modern. Berpijak pada deduktif semata, ilmu pengetahuan tidak akan maju, demikian pula jika berpijak pada induktif semata ilmu pengetahuanbagai berjalan dalam kegelapan. dengan melihat kelebihan dan kekurangan dari kedua penalaran itu, orang kemudian mencoba memodifikasi keduanya, bahkan kemudian untuk memperbesar keunggulan kedua logika itu dan memperkecil kelemahan masing-masing maka kedua logika itu digabungkan. Upaya penggabungan itu dilakukan oleh Charles Darwin si penggagas teori evolusi saat mencoba membuktikan konsep Malthus tentang struggle for existence yang kemudian menghasilkan teori baru seleksi alam yang terkenal itu. Dalam hal ini Darwin menggunakan penemuan orang lain untuk menemukan teori baru. Inilah sebenarnya essensi dari penggabungan deduktif dan induktif.

Gabungan penalaran deduktif dan induktif inilah yang kemudian memunculkan penalaran baru yang dikenal degan penalaran ilmiah. Mengenai hal ini Herbert L. Searles (Van Dalen, 1973:14) mengungkapkan bahwa: “ Iduction provides the groundwork for hypotheses, in order to eliminate those that are inconsistence with the facts, while induction again contributes to verification of remaining hypotheses”.

Selanjutnya John Dewey (Van Dalen,1973:13) meramu gabungan penalaran tersebut ke dalam langkah-langkah berpikir yang dikenal sebagai berpikir reflektif (reflective thinking). Langkah-langkah berpikir reflektif inilah yang kemudian menjadi cikal bakal metode ilmiah (scientific method). Anderson (1970:5) mengemukakan urutan langkah-langkah metode ilmiah sbb:

1.      Perumusan masalah.

2.      Penyusunan hipotesis.

3.      Melakukan eksperimen/pengujian hipotesis.

4.      Mengumpulkan dan mengolah data.

5.      Menarik kesimpulan. 

Penalaran ilmiah atau metode ilmiah yang menghendaki pembuktian kebenaran secara terpadu antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual, mengggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan menggunakan hipotesis sebagai jembatan penghubungnya. Dari sinilah lahir alur penalaran ilmiah yang dikenal denga ungkapan : “Logico hypothetico verifikatif” yang kemudian telah melahirkan banyak penemuan ilmiah dan telah memacu perkembangan ilmu pengetahuan ke tingkat yang sekarang ini. IPA adalah ilmu pengetahuan yang maju dan berkembang karena metode ilmiah dan sampai saat ini ilmuwan IPA tergolong yang paling setia pada metode ilmiah ini. Metode ilmiah bukan tanpa kekurangan, karena itu tugas anda adalah coba identifikasi apa kelebihan dan kekurangan metode ilmiah ini.

D.    Logico hipotetico dan verifikatif.
Salah satu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah adalah penelitian. Penelitian dapat didefinisikan sebagai upaya mencari jawaban yang benar atas suatu masalah berdasarkan logika dan didukung oleh fakta empirik. Penelitian dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan secara sistematis melalui proses pengumpulan data, pengolahan data, serta menarik kesimpulan berdasarkan data menggunakan metode dan teknik tertentu untuk mendapatkan kebenaran.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan mengapa penelitian perlu dilakukan. Pertama, dunia sangat luas, tidak terbatas. Banyak fenomena-fenomena alam yang belum terungkap. Kedua, banyak masalah-masalah dalam kehidupan yang memerlukan jawaban dan penyelesaian. Ketiga, dalam menjawab permasalahan sering diselesaikan hanya mengunakan akal sehat (common sense), sedangkan dalam dunia sains common sense dihindari. Pernyataan harus mengandung kebenaran yaitu kebenaran ilmiah yang didukung oleh fakta dan dianalisis kebenarannya. Keempat, diperlukan suatu pendekatan penelitian yang sahih (valid), terpercaya (reliable), sehingga hasil penelitiannya dapat diuji eleh siapapun, dan dengan metode yang sama dihasilkan hal yang sama pula (bersifat konsisten). 
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, secara teknis untuk memperoleh atau mengembangkan pengetahuan. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ilmiah dilaksanakan secara sistematis untuk memperoleh kebenaran ilmiah. Pola penelitian kuantitatif adalah: merumuskan hipotesis, logika deduktif, malakukan observasi untuk menguju hipotesis, memperoleh jawaban apakah hipotesis benar atau salah. Maka dari itu penelitian ilmiah perlu dilakukan untuk untuk memecahkan masalah. Berdasarkan pemaparan tersebut, tampaknya pemahaman mengenai penelitian ilmiah khususnya penelitian kuantitatif perlu dioptimalkan. logico hipotetico dan verifikatif. menyajikan deskripsi tentang siklus logico-hipotetico dan verifikatif. Sajian tersebut mencakup ilmu sebagai aktivitas penelitian, metode ilmiah, siklus logico-hipotetiko verifikatif.
1.      Kedudukan Ilmu dalam Penelitian Ilmiah 
Ilmu merupakan aktivitas manusia, sesuatu kegiatan yang dilaksanakan orang (aktivitas manusiawi). Ilmu tidak hanya satu aktivitas tunggal, melainkan rangkaian aktivitas sehingga merupakan suatu proses. Rangkaian aktivitas ilmu adalah bersifat rasional, kognitif, dan teologis (The Liang Gie, 2000). Aktivitas rasional berarti kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk menalar yang berbeda dengan aktivitas berdasarkan perasaan atau naluri. Menurut Barber (dalam The Liang Gie, 2000) pemikiran rasional merupakan pikiran yang mematuhi kaidah-kaidah logika, baik logika tradisional maupun logika moderen.
Ilmu merupakan proses kognitif yang berkaitan dengan sebuah proses mengetahui. Proses kognitif merupakan suatu rangkaian aktivitas seperti pengenalan, penalaran, pengkonsepsian, dimana manusia dapat mengetahui dan memperoleh pengetahuan tentang suatu hal untuk memperoleh pemahaman. Para ilmuwan dalam melakukan aktivitas ilmiah memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Ilmu melayani segala tujuan tertentu yang ingin dicapai setiap ilmuwan. Ilmu merupakan aktivitas manusiawi yang memiliki tujuan. Tujuan ilmu dapat bermacam-macam sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masing-masing ilmuan. Bronowski (dalam The Liang Gie, 2000) memaparkan tujuan ilmu adalah menemukan apa yang benar mengenai dunia ini. Aktivitas ilmu diarahkan untuk mencari kebenaran, ini dinilai dengan ukuran apakah benar terhadap fakta-fakta.
Aktivitas mempelajari sesuatu berarti menggunakan pikiran secara aktif. Aktivitas atau proses pemikiran itu lazim disebut study, inquiri, atau search untuk memperoleh pengetahuan, mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, melakukan peramalan, dan penerapan. Serangkaian kegiatan tersebut disebut penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah dilaksanakan untuk memajukan pengetahuan. Seseorang yang melaksanakan serangkaian aktivitas keilmuan disebut ilmuawan (scientist).
2.      Metode Penelitian Ilmiah
Menurut The World of Science Encyclopedia, metode ilmiah diartikan sebagai prosedur sistematis yang digunakan ilmuan dalam menemukan terhadap pengetahuan baru dan peninjauan kembali pengetahuan yang telah ada. Metode ilmiah merupakan cara alamiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010). Cara ilmiah berarti kegiatan tersebut penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasionalis, empiris, dan sistematis. 
Rasionalis berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara masuk akal sehingga dijangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indra manusia, sehingga orang lain dapat dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis berarti proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis. Data yang diperoleh melalui penelitian itu adalah data empiris yang valid, reliabel, dan obyektif. Validitas menunjukkan derajat ketetapan antara data yang sesungguhnya terjadi pada obyek dengan data yang dikumpulkan peneliti. Reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data dalam interval waktu tertentu. Obyektivitas berkenaan dengan derajat kesepakatan atau ‘interpersonal agreement”. Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid dan reliable, maka yang diuji validitas dan reliabilitasnya adalah instrumen penelitian, sedangkan dalam penelitian kualitatif yang diuji adalah datanya. Reliabilitas, validitas dan obyektivitas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menggunakan pendekatan kuantitatif karena elemen tersebut akan menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan generalisasi penggunaan model sejenis.
Setiap penelitian mempunyai tujuan dan kegunaan tertentu. Secara umum tujuan penelitian ada tiga macam yaitu bersifat penemuan, pembuktian, dan pengembangan. Penemuan berarti data yang diperoleh dari penelitian itu adalah data yang betul-betul baru yang sebelumnya belum diketahui. Penelitian yang bersifat penemuan (tujuan eksploratif) dilaksanakan untuk menemukan sesuatu yang baru dalam bidang tertentu seperti, menemukan cara yang efektif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Pembuktian berarti data yang diperoleh itu digunakan untuk membuktikan adanya keragu-raguan terhadap informasi. Penelitian yang bersifat membuktikan (tujuan verifikatif) dilaksanakan untuk menguji kebenaran dari sesuatu yang telah ada seperti, membuktikan apakah gaya belajar berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Pengembangan berarti memperdalam atau memperluas pengetahuan yang telah ada. Contoh penelitian pengembangan adalah mengembangkan bahan ajar. Francis Bacon (dalam Suparno, 1997) memaparkan bahwa pengetahuann ilmiah merupakan suatu proses induksi, yaitu ditemukan lewat pengamatan suatu obyek. Hal ini disebut sebagai metode ilmiah. 
Francis Bacon, yang dianggap sebagai bapak metode ilmiah, memaparkan langkah-langkah yang diperlukan dalam penelitian sebagai berikut.
1.      Merumuskan masalah
Dalam proses ini orang mengamati suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi, mencatat data-data dan patern yang muncul dari peristiwa tersebut, kemudian merumuskan masalah (mengajukan pertanyaan untuk dicari jawabannya).
2.      Membuat pernyataan umum atau hipotesa
Mengemukakan jawaban sementara (masih bersifat dugaan) atas pernyataan yang diajukan sebelumnya. Hipotesis penelitian dapat diperoleh dengan mengkaji berbagai teori berkaitan dengan ilmu yang dijadikan dasar dalam perumusan masalah. Peneliti menelusuri berbagai konsep, prinsip, generalisasi dari sejumlah literatur, jurnal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Kajian terhadap teori merupakan dasar dalam merumuskan kerangka berpikir sehingga dapat diajukan hipotesis sebagai alternatif jawaban atas masalah.

3.      Verifikasi data
Mengumpulkan data secara empiris kemudian mengolah dan menganalisis data untuk menguji kebenaran hipotesis. Jenis data yang dikumpulkan, diarahkan oleh makna yang tersirat dalam pengujian kebenaran hipotesis.
Peneliti harus menentukan jenis data, sumber data, dan teknik pengolahan data untuk menguji hipotesis.
4.      Menarik kesimpulan
Menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (menguji hipotesis). Kesimpulan merupakan jawaban atas rumusan masalah penelitian yang disusun dalam bentuk proposisi atau pernyataan yang telah teruji kebenarannya. 
Secara ontologis obyek penelitian ilmiah adalah fenomena, hubungan umum antara fenomena yang dipilih menjadi fokus permasalahan yang akan diteliti (variabel penelitian). Variabel yang diteliti dipaparkan dengan pendekatan desriptif. Dengan mengikuti langkah seperti gambar 1, penelitian ilmiah merupakan kegiatan dilaksanakan untuk mengkaji dan memecahkan suatu masalah menggunkan prosedur sistematis berdasarkan data empirik. 
5.      Siklus Ilmiah dalam Penelitian Kuantitatif
Metode kuantitatif disebut metode tradisional, dan juga metode positivistik. Dinamai tradisional karena sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut positivistic karena berlandaskan pada filsafat positivism. Sebagai metode ilmiah/scientific karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional dan sistematis. Metode kuantitatif menggunakan angka-angka dan dianalisis secara statistik. 
Proses penelitian kuantitatif bertolak dari studi pendahuluan dari obyek yang diteliti untuk dapat merumuskan suatu masalah. Masalah dalam penelitian kuantitatif bersifat konkrit, dapat diklasifikasikan, dan dapat diukur (Sugiyono, 2010). Masalah dapat diartikan sebagai penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa yang benar-benar terjadi, antara teori dengan praktek, antara aturan dengan pelaksanaan, antara rencana dengan pelaksanaan. Sumber masalahnya dapat dari lapangan atau kenyataan empiris maupun dari teori. Peneliti harus menguasai teori yang relevan agar dapat menggali masalah dengan baik dan dapat merumuskan permasalahan dengan spesifik. Untuk menjawab rumusan masalah yang sifatnya sementara (berhipotesis), maka peneliti membaca referensi teoritis yang relevan (pendekatan deduksi) dan penemuan-penemuan penelitian sebelumnya yang relevan (pendekatan induksi) sebagai bahan untuk memberikan jawaban sementara terhadap hipotesa. 

Untuk menguji hipotesis tersebut
Peneliti memilih metode/strategi/pendekatan/desain penelitian yang sesuai. Sebagai pertimbangan ideal dalam memilih metode adalah ketelitian data yang diharapkan dan konsisten dengan yang dikehendaki. Pertimbangan praktisnya adalah dana, waktu dan kemudahan lain. Setelah metode penelitian ditentukan, maka peneliti menyusun instrumen penelitian. Instrumen ini digunakan sebagai alat pengumpulan data yang dapat berbentuk tes, angket, kuisioner, pedoman observasi. Sebelum instrumen digunakan, dilakukan pengujian validitas, reabilitas dan obyektivitasnya.
Pengumpulan data dilakukan pada obyek tertentu baik yang berbentuk populasi maupun sampel. Sampel yang diambil haruslah representatif (mewakili) sehingga dapat dilakukan generalisasi. Setelah data terkumpul dilakukan analisis untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis. Kesimpulan merupakan jawaban terhadap rumusan masalah. Kesimpulan adalah langkah terakhir dari suatu periode penelitian. 
Epistemologi penelitian kuantitatif dilakukan dengan pendekatan preskriptif. Penggunaan konsep dan teori yang relevan serta pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian yang sebelumnya merupakan aspek logika Aspek logika (logico-hipotetiko) penelitian dilakukan berdasarkan keherensi antara pendekatan deduktif dan induktif yang dilakukan secara rasonal. Hipotesis yang diajukan kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi. Pemilihan metode penelitian, menyusun instrumen, mengumpulkan data dan menganalisisnya merupakan aspek metodologi untuk memverifikasikan hipotesis yang untuk diproses lebih lanjut.
Verifikatif dilakukan secara induktif untuk mendapatkan teori baru. Jadi secara epistemologi pengembangan ilmu itu terjadi mengikuti siklus logico, hipotetiko, dan verifikatif dengan pendekatan deduktif maupun induktif. Semua rangkaian dari siklus tersebut menguatkan bahwa logico, hipotetico, dan verifikatif merupakan ilmu sebagai aktivitas. Berdasarkan proses tersebut di atas, mulai dari langkah kajian teori sampai pada perumusan hipotesis termasuk berpikir rasional atau berpikit deduktif. Sedangkan dari verifikasi data sampai generalisasi merupakan proses berpikir induktif. Proses tersebut merupakan wujud dari proses berpikir ilmiah. 
Pemahaman yang mendalam tentang hakekat penelitian kuantitatif, sangat berperan sebagai bekal bagi para peneliti dalm melakukan penelitian. Regulasi siklus logiko-hipotetiko, dan verifikatif akan membantu peneliti membentuk sikap ilmiah dalam mengungkap kebenaran dari fenomena-fenomena alam berdasarkan kaidah penelitian ilmiah. Dengan berbekal pemahaman tentang kaedah penelitian ilmiah, akan dapat mewujudkan suatu penelitian yang sahih (valid), terpercaya (reliabel), sehingga hasil penelitiannya dapat diuji eleh siapapun, dan dengan metode yang sama dihasilkan hal yang sama pula (bersifat konsisten). 
E.     Landasan Teori Disiplin Ilmu
a.      Pengertien Disiplin ilmu
Disiplin ilmu adalah ilmu/pengetahuan yg kita dalami dan merupakan keahlian utama kita…sifatnya lebih detail/spesifik bukan secara umum.
Misalnya :
-          disiplin ilmu Ekonomi Makro => bukan ilmu Ekonomi sj tp lebih khusus/detail ke Makro Ekonomi
-          disiplin ilmu Garfika Komputer => banyak bidang dlm dunia komputer, misalnya Jaringan, Internet, Pemrograman, Grafika Komputer…sekali lagi…lebih spesifik.
b.      Definisi Landasan Teori
Landasan teori memuat teori-teori atau konsep-konsep dasar, yang diambil dari buku-buku acuan yang langsung berkaitan dengan bidang ilmu yang diteliti sebagai tuntunan, untuk memecahkan masalah penelitian dan untuk merumuskan hipotesis (Ardiansyah, 2006).
Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
c.       Landasan Teori dalam Ilmu Filsafat
Socrates (470-399) antara lain dengan metode pembelajaran yang di kenal dengan metode”Mencari tahu” metode ini di laksanakan dengan Tanya jawab ,dengan di mulai dari sesuatu yang sudah di ketahui oleh anak didiknya. Metode ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam penyusunan bahan pengajaran terprogram,Termasuk program pengajaran dengan computer.
Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan.
Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dfan tenaga kependidikan harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dfan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi pendidik dalam melaksanakan setiap kegiatan pendidikan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis dalam pendidikan terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat (Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
        Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
        Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
        Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
        Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
        Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
        Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
        Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
        Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
        Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Ilmu timbul berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi, singkatnya, berdasarkan atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus bahan-bahan pengalaman yang dapat dikumpulkan. Dalam kaitannya dengan pengetahuan dan metode ilmiah, Gie (1997) menyatakan bahwa ilmu adalah kesatuan antara pengetahuan, aktivitas, dan metode. Ketiga hal tersebut merupakan kesatuan logis yang harus ada secara berurutan. Ilmi harus diusahakan dengan aktivitas, aktivitas harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dan interaksi di antara aktivitas, metode, dan pengetahuan menyusun suatu ilmu.
Gabungan penalaran deduktif dan induktif inilah yang kemudian memunculkan penalaran baru yang dikenal degan penalaran ilmiah. Mengenai hal ini Herbert L. Searles (Van Dalen, 1973:14) mengungkapkan bahwa: “ Iduction provides the groundwork for hypotheses, in order to eliminate those that are inconsistence with the facts, while induction again contributes to verification of remaining hypotheses” Pertama, dunia sangat luas, tidak terbatas. Banyak fenomena-fenomena alam yang belum terungkap. Kedua, banyak masalah-masalah dalam kehidupan yang memerlukan jawaban dan penyelesaian. Ketiga, dalam menjawab permasalahan sering diselesaikan hanya mengunakan akal sehat (common sense), sedangkan dalam dunia sains common sense dihindari. Pernyataan harus mengandung kebenaran yaitu kebenaran ilmiah yang didukung oleh fakta dan dianalisis kebenarannya. Keempat, diperlukan suatu pendekatan penelitian yang sahih (valid), terpercaya (reliable), sehingga hasil penelitiannya dapat diuji eleh siapapun, dan dengan metode yang sama dihasilkan hal yang sama pula (bersifat konsisten). 
Ilmu merupakan sesuatu kegiatan yang dilaksanakan orang (aktivitas manusiawi) yang bersifat rasional, kognitif, dan teologis. Metode ilmiah merupakan prosedur yang digunakan ilmuan dalam pencarian sistematis terhadap pengetahuan ilmiah yang dilakukan secara rasionalis, empiris, dan sistematis. Epistemologi pengembangan ilmu itu terjadi mengikuti siklus logico, hipotetiko, dan verifikatif dengan keherensi antara pendekatan deduktif dan induktif dalam penelitian kuantitatif yang bersifat linier. Langkah-langkah penelitian kuantitatif adalah: (1) merumuskan masalah, (2) berteori, (3) berhipotesis, (4) mengumpulkan data, (5) analisis data, (6) membuat kesimpulan dan saran. 
DAFTAR PUSTAKA


Susanto, A. (2011). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Salam, B. (2003). Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan). Jakarta: P.T. Rineka Cipta.

Keraf, A.S & Dua, M. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Miarso, Y. 2009. Menyingkap Takbir Kebenaran Ilmu. Semnas TP Yogyakarta.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.

Suriasumantri,J.S. (1985).Filsafat Ilmu suatu Pengantar Populer. Jakarta:sinar harapan.

----------------------(1989) Ilmu dalam persfektif Sebuah karangan tentang hakikat Ilmu, Jakarta: Gramedia.

Suparno. P. 2001. Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
The Liang Gie. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.

Best John W. (1982) Metodologi Penelitian Pendidikan, disunting oleh Sanafiah Faisal & Mulyadi. Surabaya:Usaha Nasional.
Anderson, R.D. (1970). Developing Children Thinking through Science, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Van dalen, D.(1973) UnderstandingEducational research. New york: Mc Graw Hill Book Co.
Harre,Rom (1984) The Philosophies Of Science, Oxford: Oxford University Press. 
Smart, Patricia, (1972).Thinking And Reasoning, London: Mc Millan Education Ltd. 

Hum, D. S. (2012). Filsafat Ilmu. Dalam Konsep, sejarah, dan pengembangan metode ilmiah (hal. 283). Yogyakarta: CAPS.













MAKALAH
FILSAFAT ILMU

Struktur Pengetahuan Ilmiah
(Siklus Logicohipotetico – Verifikatif)
Teori Disiplin Ilmu

DOSEN PENGAMPU : DR. XXXXXXX




















Dususun oleh :
Kelompok VI
XXXXX A (1311002292xx)
XXXXX B (1311002293xx)



XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
XXXXXXXXXXXXXXX
2014

 

 


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I ...... PENDAHULUAN
.................. Latar Belakang............................................................................................... 1
BAB II ..... PEMBAHASAN
A.    Pengertian Struktur Ilmu.......................................................................... 2
B.     Struktur Pengetahuan Ilmiah.................................................................... 3
C.     Metode Ilmiah.......................................................................................... 4
D.    Logico Hipotetico dan Verifikatif........................................................... 7
E.     Landasan Teori Disiplin Ilmu................................................................... 13
BAB III ... PENUTUP
.................. Kesimpulan..................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 17

1 komentar: